Jumat, 23 Januari 2015

Cerpen



Tema : Cinta Yang Tak Terucap
THE LAST JOURNAL (PART 1)

            Dua bola mataku menangkap sesosok bayangan yang takkan pernah menjadi asing, meskipun sepekan terakhir ini dia mendadak berubah. Patung berjalan –begitulah dia kini. Menyendiri, membisu di bangku taman belakang sekolah tiap waktu senggang berdentang. Seringkali ia juga kepergok melamun saat pelajaran berlangsung. Tiap ku hampiri, walau jarak kami masih agak jauh, dia akan memilih memutar jalan lain atau sengaja melewatiku sambil membuang muka. Jika kami tak sengaja saling tatap, sorotan matanya dingin. Seperti ada rahasia yang disembunyikannya, tentang sesuatu atau seseorang?
            Tak sulit menemukan keberadaannya, sebab tempat itu tempat favorit kami kala suntuk. Tempatnya tenang, hampir tidak pernah dilewati atau dikunjungi siswa lain bahkan kita bisa mendengar bisik-bisik jangkrik. Agak jauh memang, terlalu belakang untuk ukuran sekolah yang maha luas ini. Banyak yang mengira di sana hanya ada gudang.
            Aku berusaha melangkah tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun. Jari-jari kaki sengaja dibuat kaku. Jari-jari tangan yang gemetaran, sekeras mungkin ku buat santai. Tiap melangkah, aku menarik nafas, tahan, kemudian langkah berikutnya aku membuangnya pelan dan buru-buru menariknya lagi. Ketika hampir tepat di belakang punggung kokoh laki-laki itu, ku temui siluet terindah yang pernah ada. Ingin rasanya langsung ku lukis diam-diam.
            “Untuk apa kesini?”
Sentilan tanpa caci-maki. Nada penuh misteri. Kata-kata tanpa basa basi.
            Tiga langkah lagi. Kenapa dia bisa tahu?
Jejakku berhenti sebelum benar-benar dekat padanya. Adrenalin yang susah payah ku cari dan ku simpan pun pupus. Kedua tanganku yang siap menyerahkan ‘sesuatu’ di balik punggung ini seketika mencengkram erat barang itu.
            Dia masih belum menoleh. Masih memunggungiku.
“Aku mau bicara.”jawabku seadanya. Antara kesal dan cemas, aku menunggu reaksinya.
Tak perlu sepuluh detik kemudian, aku dengar perkataan singkatnya, “Baik. Duduklah.”
Mau tak mau aku menurut. Perlahan tapi pasti, bokongku telah mendarat di bangku yang sama. Aku sudah di sebelahnya tetap dengan kepala masih tertunduk. Berat rasanya menghadap lurus ke depan, memandang aneka bunga-bunga untuk sekedar menyegarkan mata. Tanpa sadar ku peluk erat ‘sesuatu’ yang seharusnya menjadi kejutan.
“Bicaralah.” Suaranya memecahkan kesunyian yang bertengger cukup lama diantara kami berdua. Sesekali ku intip dia lewat sudut mata,. Posisi duduknya santai dan nyaman, seperti biasa, hanya saja…
“Kamu kenapa?” Pertanyaan standar tanpa persiapan apa-apa. Aku berharap dia tidak menjawab dengan jawaban sia-sia. Kalau sampai satu kata yang tak ku harapkan itu meluncur, maka usahaku terbuang percuma.
“Menurutmu?”tanyanya balik.
Apa-apaan ini?! Sungguh, aku yang dungu tak pandai menduga. Suasana tubuhku tambah menegang. Mata terpejam. Berulang kali ku telan ludah dalam-dalam. Aku menggeleng. Aku mengangkat bahu. Masa bodo, dia melihat atau enggan atau justru pura-pura tidak tahu.
Mimpi. Mungkin lebih baik, aku berharap sedang bermimpi. Aku yang merasa rapuh seketika berada dalam lingkaran penuh kasih. Aku masih memeluk barang ini, hanya saja posisi dudukku berubah. Aku yakin itu! Ada tarikan yang lembut, sengaja membuat kepalaku yang berdenyut menyandar pada bidang yang kokoh.
“Apa kamu sakit?”
Nyata. Saat mataku terbuka, aku sedang dalam rangkulannya.
Menatapku.. Sorotan yang teduh. Hanya padaku.
Sesegara mungkin aku menyingkir. Malu. Hanya itu yang berdengung di sekelilingku. Semoga saja dia tidak melihat kekacauan di pipiku yang terlanjur merona serta helaan nafas sesekali menderu.


 to be continued...
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MY L.O.V.E (PART 19) #Untold Story

SEBUAH PENGAKUAN (III) Diana menatap Micky, tatapan cowok itu begitu kelabu. Tidak ada sinar yang terpancar di sana. ...