Tema
: Cinta Yang Tak Terucap
THE
LAST JOURNAL (PART 1)
Dua bola mataku menangkap sesosok
bayangan yang takkan pernah menjadi asing, meskipun sepekan terakhir ini dia
mendadak berubah. Patung berjalan –begitulah dia kini. Menyendiri, membisu di
bangku taman belakang sekolah tiap waktu senggang berdentang. Seringkali ia
juga kepergok melamun saat pelajaran berlangsung. Tiap ku hampiri, walau jarak
kami masih agak jauh, dia akan memilih memutar jalan lain atau sengaja
melewatiku sambil membuang muka. Jika kami tak sengaja saling tatap, sorotan
matanya dingin. Seperti ada
rahasia yang disembunyikannya, tentang sesuatu
atau seseorang?
Tak sulit menemukan keberadaannya,
sebab tempat itu tempat favorit kami kala suntuk. Tempatnya tenang, hampir
tidak pernah dilewati atau dikunjungi siswa lain bahkan kita bisa mendengar
bisik-bisik jangkrik. Agak jauh memang, terlalu belakang untuk ukuran sekolah
yang maha luas ini.
Banyak yang mengira di sana hanya ada gudang.
Aku berusaha melangkah tanpa
menimbulkan bunyi sedikit pun. Jari-jari kaki sengaja dibuat kaku. Jari-jari
tangan yang gemetaran, sekeras mungkin ku buat santai. Tiap
melangkah, aku menarik nafas, tahan, kemudian langkah berikutnya aku
membuangnya pelan dan buru-buru menariknya lagi. Ketika hampir tepat di belakang punggung kokoh
laki-laki itu, ku temui siluet
terindah yang pernah ada. Ingin
rasanya langsung ku lukis diam-diam.
“Untuk apa kesini?”
Sentilan tanpa caci-maki. Nada penuh misteri.
Kata-kata tanpa basa basi.
Tiga langkah lagi. Kenapa dia bisa tahu?
Jejakku berhenti sebelum benar-benar dekat padanya.
Adrenalin yang susah payah ku cari dan ku simpan pun pupus. Kedua tanganku yang
siap menyerahkan ‘sesuatu’ di balik punggung ini seketika mencengkram erat barang
itu.
Dia masih belum menoleh. Masih
memunggungiku.
“Aku mau bicara.”jawabku seadanya. Antara kesal dan
cemas, aku menunggu reaksinya.
Tak perlu sepuluh detik kemudian, aku dengar
perkataan singkatnya, “Baik. Duduklah.”
Mau tak mau aku menurut. Perlahan tapi pasti,
bokongku telah mendarat di bangku yang sama. Aku sudah di sebelahnya tetap
dengan kepala masih tertunduk. Berat rasanya menghadap lurus ke depan,
memandang aneka bunga-bunga untuk sekedar menyegarkan mata. Tanpa sadar ku peluk erat ‘sesuatu’
yang seharusnya menjadi kejutan.
“Bicaralah.” Suaranya memecahkan kesunyian yang bertengger
cukup lama diantara kami berdua. Sesekali ku intip dia lewat sudut mata,. Posisi duduknya santai dan nyaman,
seperti biasa, hanya saja…
“Kamu kenapa?” Pertanyaan standar tanpa persiapan
apa-apa. Aku berharap dia tidak menjawab dengan jawaban sia-sia. Kalau sampai
satu kata yang tak ku harapkan itu meluncur, maka usahaku terbuang
percuma.
“Menurutmu?”tanyanya balik.
Apa-apaan ini?! Sungguh, aku yang dungu tak pandai
menduga. Suasana tubuhku tambah menegang. Mata terpejam. Berulang kali ku telan
ludah dalam-dalam. Aku
menggeleng. Aku mengangkat bahu. Masa bodo, dia melihat atau enggan atau justru
pura-pura tidak tahu.
Mimpi. Mungkin lebih baik, aku berharap sedang bermimpi. Aku yang
merasa rapuh seketika berada dalam lingkaran penuh kasih. Aku masih memeluk
barang ini, hanya saja posisi dudukku berubah. Aku yakin itu! Ada tarikan yang
lembut, sengaja membuat kepalaku yang berdenyut menyandar pada bidang yang kokoh.
“Apa kamu sakit?”
Nyata. Saat mataku terbuka, aku sedang dalam rangkulannya.
Menatapku.. Sorotan yang teduh. Hanya padaku.
Sesegara mungkin aku menyingkir. Malu. Hanya itu
yang berdengung di sekelilingku. Semoga saja dia tidak melihat kekacauan di pipiku
yang terlanjur merona serta helaan nafas sesekali menderu.
to be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar