NAPI
Berdiri di depan puluhan orang untuk
mengucapkan sepatah kata membutuhkan keahlian. Aku tidak punya itu. Jemari di
kedua tanganku terlanjur bergetar bahkan sebelum menyentuh mikrofon. Langkah
kaki seperti terikat rantai besi saat melangkah ke atas podium. Riuhnya tepuk
tangan justru membuatku takut bukan gugup.
Giliran namaku kembali menggema ke
seluruh sudut aula. Tepukan makin meriah. Teriakan-teriakan menggila dari
sahabat berhasil menggelitik bibir. Terciptalah seulas senyum kaku. Untung saja
badan kurus kering ini mampu berdiri tegap. Seolah aku manusia gagah. Sementara
serentetan kata masih enggan keluar, aku berusaha mencari kunci dalam otakku
agar kata-kata itu terbebas dari kurungan...
Tunggu!
Rasanya
aku akrab dengan ‘kurungan’ yang pernah menggelapkan hidup, membawa arus
penderitaan, diliputi dendam sampai bermuara pada cahaya kedamaian.
***
Tengkorak
kepala terlalu keras dihantam tangan-tangan besar orang desa. Telinga
berdengung. Bola mata menangis darah. Tulang-tulang menjerit. Sekujur tubuh
lebam, membiru. Padahal ini bukan sedang di arena tinju. Seruan peluru di udara
menghentikan kebrutalan mereka. Bayanganku sekarang pindah ke tangan pasukan
berseragam cokelat. Orang-orang desa tiada henti memaki, “Pergi sana anak tak
tahu diri! Dasar anak jalang! Jangan kembali!”
Sebelum
memasuki mobil bertuliskan ‘Polisi’, kulihat wajah buram Haji Salim, janggut
lebatnya, juga kambingnya yang putih dan gemuk. Teganya dia membiarkan bocah
kurus tengik kian terpuruk. Kecerobohan sekaligus kebodohan telah memporak-porandakan
satu-satunya kemampuan yang kumiliki. Mencuri.
Rupanya
makanan bekas tak menghalangi bakat tubuh yang tahan beragam jenis pukulan. Dokter
mengatakan kondisiku tergolong baik. Pemulihan cukup butuh waktu tiga hari. “Sayangnya...
luka di kepalanya agak parah. Ada kemungkinan ia tidak dapat mengingat sesuatu
yang penting. Nanti jika anak ini sudah lebih baik, baru kami periksa lebih
lanjut dan kami beritahu hasil seluruhnya,” ujarnya dengan suara setengah
berbisik.
Persis
prediksi bapak berjas putih beserta stetoskop yang setia melingkari lehernya, aku
sembuh. Setidaknya bisa berbicara walau terbata. Terbesit pertanyaan, “Biaya perawatan siapa yang bayar?” setelah
termangu cukup lama memandang ruangan serba putih ini. Mulai dari tembok, langit-langit kamar, kasur juga selimut
lembut. Dan cukup muak dengan aroma obat-obatan yang tiap hari menyeruak.
“Selamat
pagi. Wah, wah, rupanya fisikmu sangat tangguh melawan luka-luka itu. Bagaimana
perasaanmu sekarang?”
Siapa
dia? Bukan si bapak berstetoskop. Bukan bapak polisi berkumis. Apalagi
perempuan yang kerjanya masuk tiap sejam sekali, menyuntikkan cairan pembuat
kantuk ke dalam urat nadi sambil pura-pura tersenyum ramah. Bagiku, senyum itu
jelas menyiratkan rasa kasihan daripada simpatik. Menjijikan.
Wanita
berkemeja lengan panjang ungu tua, rok hitam panjang hampir menutupi sepasang
sepatu hitam pentofelnya, dan rambut cokelat tua ekor kuda. Ia tampak tersenyum
tanpa menyunggingkan kedua sudut bibirnya. Matanya sayu di balik kacamata tebal
itu lurus menatapku. Menunggu jawaban.
“Ba-ik.”
Mendengar
suaraku yang hampir tersapu angin tetap berhasil membuatnya benar-benar
tersenyum. “Aku senang mendengarnya. Oya! Aku sampai lupa memperkenalkan diri.
Namaku Revi. Kau bisa menyebutku kakak atau nama saja juga tidak apa. Aku
kesini karena pak Dokter memintaku agar bisa membantu meringankan bebanmu. Kita
bisa jadi teman kalau kau mau atau mungkin jadi tempat sampahmu. Hehe, maksudnya
kau boleh cerita apa saja padaku dan tenang.. rahasiamu aman padaku. Bagaimana?”
Aku
suka caranya menuturkan sesuatu. Aku ingin terlibat suatu obrolan dengannya.
Kenapa harus takut? “Ya,” jawabku seraya mengangguk.
“Baiklah,
kita mulai ya. Namamu siapa anak manis?”
Deg! Namaku..
nama... siapa namaku? “Aku.. aku.. bapakku tukang judi. Ibu, buruh cuci. Setiap
hari mereka bertengkar hanya karena masalah kecil. Seperti makanan belum
tersaji di meja, segelas kopi belum disediakan, uang belanja semakin berkurang.
Sekolah, ya, hanya sampai dua SMP. Lalu mereka menendangku paksa gara-gara
menunggak iuran gedung juga bulanan. Lima bulan lalu.. pagi itu mereka tidur
dengan bersimbah banyak darah dan ternyata paman lintah darat yang menikamnya
tengah malam. Sayangnya, paman tidak ditangkap sepertiku yang hanya mencuri
seekor kambing. Padahal...”
Aku
mencerocos tanpa jeda. Sama sekali tidak menjawab pertanyaan Revi. Terus
berusaha menelusuri jejak ‘Siapakah aku?’ atau ‘Nama siapapun, bapak? Ibu?
Orang yang kambingnya kucuri?’ Oh, tidak! Jangan-jangan... maksud sesuatu
penting yang akan hilang itu..
“.....
Ini pertama kali aku beraksi dan..” Tentu aku lihai berbohong. Tidak mungkin kan
kartu emas mudah terbuka, termasuk kepada wanita ini. Pencurian terbesar
pertama mungkin benar, tapi aksi ini sesungguhnya berada di nomor urut dua
puluh satu. Aku bermain tangan tidak dibantu siapa-siapa. Maka, tingkat
keberanian hasil curianku masih sebatas barang jualan, dompet, atau tas ibu-ibu
di pasar. Pengecutkah? Ah, Tidak juga. Prinsipku adalah yang penting perut
kenyang, tidur lelap.
Kehabisan
ide seketika aku bisu. Memberinya kesempatan mengulang pertanyaan awal, “Aku
senang sekali kamu bisa seterbuka itu. Tetapi, bagaimana aku memanggilmu? Rasanya
tidak sopan jika aku tidak memanggilmu dengan nama.”
“Aku..
Lu-pa. Ti-dak ingat,” sahutku lemah.
“Maksudnya?
Coba kamu ingat.”
Apa wanita ini tuli?! Sejuta kali
kuperintahkan otak untuk mencari berkas namaku, hasilnya pasti nihil! Daritadi
juga aku mencoba! Namun semua nama yang pernah terlibat di hidupku... semua
terhapus terseret darah dan luka yang mengering.
Tanpa
diduga reaksi aneh langsung muncul. Aku berteriak keras. Meronta-ronta. Menutup
kedua telinga seakan menghindari bisikan setan-setan nakal. Revi terlonjak
kaget. Ia mundur menjauhiku seraya panik. Sosoknya berubah drastis di mataku
saat bapak berstetoskop dan polisi berkumis tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Mereka
menenangkanku dengan jarum suntik yang licik. Tak lama, bisa menembus benteng kulit
ini.
Aku
baru paham. Rasanya terlanjur diperdayai. Mereka berdua juga mendengar... Tahu
seluruh kisahku. Kecuali karirku. Namaku.
***
Ketukan
palu persidangan memutuskan hidupku dengan dunia luar. Walaupun sementara, gelar
‘NAPI’ alias narapidana itu membuat perutku mual. Delapan bulan ke depan harus
bertatap muka dengan beragam makhluk asing lagi. Menahan diri agar tidak
memuntahkan apa yang dimasak di sana.
Kepala
tertunduk tidak membiarkan mataku berdiam saja. Di sela-sela hakim berceloteh,
aku sengaja mencari dia dan dia. Si
laki-laki berjanggut pemilik kambing duduk tepat di sebelah kiriku. Si
wanita penipu ulung berada di deretan ketiga, belakang kursi laki-laki
berjanggut. Ia bersama orang-orang yang tidak terima dengan masa hukumanku. “Terlalu
ringan pak hakim Yang Agung! Huh! Anak jalang,” demikian mereka tiada habis
mencemooh. Mungkin bagi orang-orang desa Rawa Jomblang, seorang pencuri kambing
tidak ada bedanya dengan koruptor rakus negeri ini.
Entahlah..
aku kan masih kanak-kanak.
Dua
nama mulai mengacaukan pikiran, naluri, perasaan. Jaksa penuntut sesekali
menyebut nama itu. Haji Salim dan Revi. Mereka
membuat bocah ingusan ini ingin membalaskan tumpukan amarah masa lalu. Lelah
menjadi alas kaki manusia. Selalu diinjak dan direndahkan. Masalahnya, siapa
orang tidak beruntung yang akan menjadi sasaranku?
“Kau
ingin tahu siapa?” tanya Ongki. Sesama NAPI di Lembaga Pemasyarakatan khusus
menjerat pelaku di bawah umur. Badannya pendek, agak gempal, ada dua tindikan
di telinga kanannya, berambut gimbal, deretan gigi bawahnya berantakan, dan tahi
lalat besar bertengger di sudut mata kirinya. Bulu matanya bahkan lentik! Ongki
sangat jauh dari tipe tampang para penjahat. Dia pasti sedang mencari sekutu di
sini agar tidak bosan dengan rutinitas. Sebenarnya, aku tahu dia tahanan yang baru
mendekam tiga bulan. Ajaibnya dia bisa tahu segudang informasi di dalam sini melebihiku
yang setengah tahun bergumul bersama sipir-sipir.
Nafsu
makanku langsung hilang. Ongki terus menyela, berkelakar hingga mulut berbusa
tentang dirinya dan kejahatan yang diperbuat. Oke, ternyata dia terdakwa kasus tindak
asusila adiknya sendiri yang masih balita usai nonton video porno. Kemudian, setelah
berhubungan ia langsung mengadu dan mohon ampun pada ibu? Betul ‘kan! Dasar
Ongki si kriminal kelas teri!
“Sudahlah
diam. Ini jam istirahat, aku mau kembali ke sel,” ucapku dingin agar ia cepat
menyingkir.
“Akhirnya
kau bicara Napi!! Kupikir selama ini kau..”
“Berhenti
memanggilku ITU!” ujarku setengah berteriak sambil menggebrak meja. Suara
bising Ongki lenyap. Sinar ketakutannya sekilas terpancar. Buru-buru aku
bangkit, membuang makanan, lalu berjalan keluar kantin. Tapi terlambat.. aku
dan kemarahanku jadi pusat perhatian sekarang.
“Hey!
Bersikaplah baik kalau mau cepat bebas!” sahut Deni, satu-satunya sipir yang
bersikap baik padaku. Itu juga gara-gara dia tidak pernah menyebutku ‘Napi’.
Aku
tahu. Aku mengerti. Selama ini aku diam, tunduk pada segala perintah, memangnya
supaya apa kau pikir?!
“Lihat si Napi bisu
kayaknya mau marah.. meletus deh!”
“Nggak punya nama aja belagu. Syukurin aja
kali bisa dipanggil Napi!”
“Napi.. Napi.. Napi..”
Telinga ini sudah kebal caci maki sampah
masyarakat seperti mereka. Lengkingan mereka mengudara lebih keras lagi. Dadaku
mulai sesak. Sepasang tangan terkepal kuat. Baik kepala maupun hati perlahan
ikut terbakar. Aku hampir saja meninju seseorang, sayangnya...
Remaja laki-laki kekar itu menubrukku
dari belakang. Membiarkanku terjerembab di lantai. Ia setengah berlari,
mengamuk, lalu mencekik sipir Deni yang berdiri di mulut gerbang kantin.
Tindakannya membabi buta seperti kerasukan iblis. “KELUARKAN SAYA DARI SINI!”
teriaknya.
Tahanan lain yang belum puas menggodaku
seketika menjerit. Berlarian kesana kemari. Suasana gaduh tidak keruan
memancing sipir lain datang. Laki-laki itu masih menyerang Deni hingga
pelipisnya mengalirkan darah. Sementara aku masih jatuh terduduk. Menyaksikan
saksama peristiwa ini. Masuk ke dalam bayang-bayang kegagalan yang pahit. Wajah
Haji Salim dan Revi pun bergantian muncul.
“Lakukan sesuatu atau Deni bisa mati!”
ujar Ongki menyadarakan kembali. Ia segera membantuku berdiri. Memaksaku
membantu sipir lain yang sulit memecahkan pertengkaran. Percaya atau tidak,
kata-kata Ongki juga suara bisingnya meletupkan kobaran api yang sempat
meredup. Mataku merah berkilat. Kaki-kaki berjalan tenang. Tanpa mengutarakan
basa-basi. Satu hantaman sebenarnya cukup membuatnya pingsan. Tapi, pikiran,
naluri, perasaan, serta emosiku mau lebih dari itu. Sudah waktunya...
Dia-lah orang yang sedang tidak
beruntung menjadi sasaranku.
***
Satu minggu di sel pengasingan tanpa
mengerjakan tugas justru membuat frustasi. Tiap hari hanya merenungkan bahan
pernyataan kalau, ‘Penyesalan memang
selalu datang terlambat’. Untunglah aku terbiasa meringkuk sendiri. Namun,
jangan salah kira bila penyesalan itu akibat aku menghajar Boni si pecundang!
Sehari setelah kejadian itu, selku
dipindah sementara kesini -tempat yang lebih pojok, gelap dan lembab. Ongki datang
menemui, kemudian langsung minta maaf. Dia juga berbicara panjang lebar seperti
biasa. Aku maklum. Sekali Ongki bersuara maka ia bakalan lupa bernafas.
“Orang
yang kau bikin babak belur itu Boni. Dia adalah penguasa atau yang terkuat
diantara tahanan di sini! Fisiknya terlalu besar untuk kami semua tandingi. Kata
orang-orang, ini kali ke tiga ia mencekik sipir. Tapi, sebenarnya dia
benar-benar pecundang! Bayangkan, dia tega mengambil nyawa kakak perempuannya
tetapi tidak berani mengaku dan bertanggung jawab! Apa coba kalau namanya bukan
Boni si pecundang? Hahaha...
...Aku
ke sini mau minta maaf padamu. Kau memukulnya juga gara-gara hasutanku kan?
Jadi aku, ya, bersalah. Aku minta dipindahkan di tempat kau tapi sipir Edi
menolaknya. Ya... jujur, aku ini salut padamu. Padahal tubuhmu kurus kerempeng
begitu, tetapi kekuatanmu kayak seribu tenaga kuda! Kau macam orang yang tangguh!
Kau tahu kenapa aku ingin sekali berkawan denganmu? Karena meski kau suka
menyendiri, dan kerjamu cuma mengerjakan perintah para sipir, tapi aku bisa
menilai kau orang yang baik. Aku ingin balik lagi jadi orang sepertimu. Baik
dan... bisa berdamai dengan diri sendiri... Oh iya! Sekarang banyak napi, eh,
tahanan lain yang ingin berkenalan denganmu. Aksi kau menyelamatkan sipir Deni kemarin
dianggap heroik, kawan! Eh.. maksudku ya, heroik... Ehm, Alah, sudahlah banyak
kali aku bicara tapi kau diam saja. Kalau gitu, sudah dulu.”
“Ongki!
Terima kasih.. Kurasa kita bisa berteman. Satu hal, aku.. bukan orang baik. Aku
pencuri..”
Bukan pembunuh! Dan aku nyaris meregangkan
nyawa Boni, meskipun dia juga hampir membuat Deni kehabisan nafas. Itulah yang
menghantuiku. Menggangguku! Aku bisa gila! Bagaimana caraku menebus semuanya?!
Aku terlanjur menodai proses kelancaran pembebasan ini! Apa aku harus berdoa?
Pada siapa? Aku saja lupa nama Tuhanku!
Baru kali ini, hal memalukan terjadi.
Seorang pencuri bodoh menguraikan air mata penyesalan. Ia bingung mengadu
kepada siapa karena tidak tersisa tempat berkeluh kesah. Pada dasarnya, ia
memang bocah-cengeng-ingusan. Kini, ia benar-benar menjilat kesepian juga
kesunyian sendiri. Pahit. Lebih dari rasa pahit kegagalan mencuri kambing,
dihajar orang-orang desa, ditipu daya seorang wanita, serta duduk di kursi
pesakitan.
Aku jadi teringat ibu. Ketika ia dipukul
bapak yang sedang mabuk. Ia tidak pernah membalas tamparan bapak bahkan di
setiap pertengkaran mereka. Hanya satu kata yang sering ibu ucapakan,
“Astaghfirullahaladzim... Astaghfirullahaladzim...”
“Kawan.. kenapa kau? Ayo buka mata kau,”
panggil seseorang yang suaranya sangat kukenal.
Ongki bersama lima orang lainnya. Aku
tidak kenal siapa mereka, tapi pernah sekilas ingat wajahnya masing-masing.
“Sudahlah kawan.. Jangan menangis lagi.
Kau ini manusia tangguh! Ini kuajak orang-orang yang ingin mengenalmu lebih
dekat. Ada Tori, Ical, Dewi, Salsa, dan Bagas,” sahut Ongki berusaha menenangkanku.
Ia mengusap puncak kepalaku lembut. Begitu juga lima lainnya ikut menyemangati.
Tidak tahan lagi, aku memeluk Ongki dari
balik jeruji besi. Sekali lagi, ia menenangkan dengan menepuk-nepuk punggungku.
“Sabar kawan.. sabar..”
“Apa Boni sudah baikan?” tanyaku diantara
isakan kami berdua.
“Hari ini dia pulang kemari kawan.
Hanya patah tulang di tangan dan retak sedikit di kaki. Otaknya aman-aman saja,
tidak ada pendarahan serius. Besok juga kau bebas! Maksudku.. kembali ke sel mu
yang lama. Pasti kau sudah dirindukan tuh,” jelas Ongki dengan menyelipkan
sedikit guyonan.
Aku terkekeh seraya melepaskan
pelukan. “Bagaimana dengan Deni?”
“Dia jauh lebih baik tapi masih
butuh istirahat dan tinggal rawat jalan saja kawan,” jawab Tori.
“Kabar baiknya, masa hukumanmu tidak
akan berpengaruh terhadap kejadian itu kawan! Jadi tetap tinggal dua bulan
lagi!” Ical turut menimpali.
“Kami akan siap membantumu, kawan!”
sahut Salsa dan Dewi berbarengan.
Ada yang tidak beres.
“Ngomong-ngomong, kenapa kalian kompak memanggilku ‘kawan’?”
“Kata Ongki, kalo manggil kamu Napi
lagi bisa gonjang-ganjing tanah seantero Nusantara,” celetuk Bagas. Ongki yang
tak terima namanya dibawa-bawa langsung menjitaknya. “Becanda itu jangan
diambil hati ya. Habis bingung kali kita mau ..”
“Sudah-sudah Ongki, Bagas, Ical,
Tori, Dewi, dan Salsa. Mulai sekarang sampai kapan pun, panggil aku ‘Napi’. Karena
berkat nama itu, aku bisa menerima diriku lagi apa adanya.. begini adanya..
Berkat semuanya juga, aku mulai memaafkan diriku sendiri.”
“NAPI!!!!” Teriak mereka serentak
dan kami saling berpelukan. Bel sudah berbunyi dua kali tanda istirahat
selesai. Mereka tidak berhenti bersorak menggaungkan namaku. Aku pasrah.
Sebelum Ongki pamit, ia bertanya
padaku, “Kau tahu tidak seorang bijak spritual, terkenal dengan gerakan
perdamaian tanpa kekerasan. Dia kurus, botak, kacamatanya bulat. Siapa ya Ga..
Ga.?”
“Oh, Gandhi?”
Anggukan berkali-kali ditunjukkan Ongki, lalu
ia membisikkan suatu kalimat agak panjang penuh penekanan. Setelah itu, Ongki
mengacungkan jempolnya dan tersenyum. Saat bayangnya mulai pudar, aku tersadar
ucapannya terlalu membekas.
***
Sulit sekali menutup mata, hati,
pikiran sejenak agar mereka beristirahat malam ini. Udara dingin menusuk.
Langit bahkan terlihat lebih murung. Apalagi lampu dalam sel remang-remang.
Dari sunyinya lantai mendadak
terdengar langkah kaki. Lamat-lamat makin keras mendekat. Tak lama, pintu
penjara berderit. Lantas aku bangun dan buru-buru mengucek mata. “Siapa di
situ?”
Tanpa basa-basi, kudengar sahutan,
“Urusan kita berdua belum selesai. Masih ingat dengan orang yang hampir terbunuh?
Kau sama saja menyebalkan dengan kakak perempuanku, Napi. ”
“Aku bukan pembunuh,” balasku lirih.
“Maafkan aku Boni.. Aku menyesal. Aku ingin kita berdam...”
Aku tercekat! Belum sempat kata
terakhir itu meluncur, sebilah pisau tertancap di perutku. Organ bagian dalam mungkin
ada yang sobek. Boni menatapku nanar. Ia menyandarkan diri ke dinding.
Tiba-tiba berteriak histeris. Empat penjaga langsung datang. Kulihat samar-samar,
tangan Boni yang berlumuran darah diborgol, ia `dibawa keluar dengan paksa.
Sejak saat itu, aku tidak pernah melihatnya lagi.
Antara hidup dan mati. Aku meyakinkan
ketepatan instingku. Orang baik sekali pun sepertinya tidak ada yang setulus laki-laki
bernama Ongki.
***
“NAPI! SAMPAI BERAPA LAMA KAU MAU
BERDIRI DI SANA! KAU TAK BISU KAN? AYOLAH BANYAK YANG ANTRI INI!” Suara bising khas
itu membangunkanku dari lamunan panjang. Sipir Deni memberi isyarat agar cepat
bicara atau turun podium. Hari ini adalah hari istimewa bagi kami –narapidana
anak. Semuanya berkesempatan untuk berkeluh kesah di aula ini.
“Ehem.
Baiklah. Aku teringat pada teman baikku yang pernah membisikkan kutipan seorang
bijak spiritual, kurus, botak, berkacamata bulat... Mahatma Gandhi. Ia berkata,
‘Cinta tidak pernah meminta, ia senantiasa memberi. Cinta membawa penderitaan,
tetapi tidak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan.
Manakala kebencian membawa kepada kemusnahan.’ Kalian setuju bukan?”
Aku
mengacungkan dua ibu jari, “Kita semua hebat karena kita punya cinta. Tidak ada
manusia jahat asalkan segala yang salah kita perbaiki. Selalu ada kesempatan
untuk memperoleh kebenaran serta kebebasan. Itu saja.”
Dalam
keheningan, setidaknya aku siap melangkah hidup lebih dewasa di dunia luar. Menghirup
udara bebas. Ya, Dua minggu lagi. (15/7/13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar