Senin, 19 Januari 2015

Cerpen





       NAPI


     Berdiri di depan puluhan orang untuk mengucapkan sepatah kata membutuhkan keahlian. Aku tidak punya itu. Jemari di kedua tanganku terlanjur bergetar bahkan sebelum menyentuh mikrofon. Langkah kaki seperti terikat rantai besi saat melangkah ke atas podium. Riuhnya tepuk tangan justru membuatku takut bukan gugup.
            Giliran namaku kembali menggema ke seluruh sudut aula. Tepukan makin meriah. Teriakan-teriakan menggila dari sahabat berhasil menggelitik bibir. Terciptalah seulas senyum kaku. Untung saja badan kurus kering ini mampu berdiri tegap. Seolah aku manusia gagah. Sementara serentetan kata masih enggan keluar, aku berusaha mencari kunci dalam otakku agar kata-kata itu terbebas dari kurungan...
            Tunggu!
Rasanya aku akrab dengan ‘kurungan’ yang pernah menggelapkan hidup, membawa arus penderitaan, diliputi dendam sampai bermuara pada cahaya kedamaian.
***
Tengkorak kepala terlalu keras dihantam tangan-tangan besar orang desa. Telinga berdengung. Bola mata menangis darah. Tulang-tulang menjerit. Sekujur tubuh lebam, membiru. Padahal ini bukan sedang di arena tinju. Seruan peluru di udara menghentikan kebrutalan mereka. Bayanganku sekarang pindah ke tangan pasukan berseragam cokelat. Orang-orang desa tiada henti memaki, “Pergi sana anak tak tahu diri! Dasar anak jalang! Jangan kembali!”
Sebelum memasuki mobil bertuliskan ‘Polisi’, kulihat wajah buram Haji Salim, janggut lebatnya, juga kambingnya yang putih dan gemuk. Teganya dia membiarkan bocah kurus tengik kian terpuruk. Kecerobohan sekaligus kebodohan telah memporak-porandakan satu-satunya kemampuan yang kumiliki. Mencuri.
Rupanya makanan bekas tak menghalangi bakat tubuh yang tahan beragam jenis pukulan. Dokter mengatakan kondisiku tergolong baik. Pemulihan cukup butuh waktu tiga hari. “Sayangnya... luka di kepalanya agak parah. Ada kemungkinan ia tidak dapat mengingat sesuatu yang penting. Nanti jika anak ini sudah lebih baik, baru kami periksa lebih lanjut dan kami beritahu hasil seluruhnya,” ujarnya dengan suara setengah berbisik.
Persis prediksi bapak berjas putih beserta stetoskop yang setia melingkari lehernya, aku sembuh. Setidaknya bisa berbicara walau terbata. Terbesit pertanyaan, “Biaya perawatan siapa yang bayar?” setelah termangu cukup lama memandang ruangan serba putih ini. Mulai dari tembok,  langit-langit kamar, kasur juga selimut lembut. Dan cukup muak dengan aroma obat-obatan yang tiap hari menyeruak.
“Selamat pagi. Wah, wah, rupanya fisikmu sangat tangguh melawan luka-luka itu. Bagaimana perasaanmu sekarang?”
Siapa dia? Bukan si bapak berstetoskop. Bukan bapak polisi berkumis. Apalagi perempuan yang kerjanya masuk tiap sejam sekali, menyuntikkan cairan pembuat kantuk ke dalam urat nadi sambil pura-pura tersenyum ramah. Bagiku, senyum itu jelas menyiratkan rasa kasihan daripada simpatik. Menjijikan.
Wanita berkemeja lengan panjang ungu tua, rok hitam panjang hampir menutupi sepasang sepatu hitam pentofelnya, dan rambut cokelat tua ekor kuda. Ia tampak tersenyum tanpa menyunggingkan kedua sudut bibirnya. Matanya sayu di balik kacamata tebal itu lurus menatapku. Menunggu jawaban.
“Ba-ik.”
Mendengar suaraku yang hampir tersapu angin tetap berhasil membuatnya benar-benar tersenyum. “Aku senang mendengarnya. Oya! Aku sampai lupa memperkenalkan diri. Namaku Revi. Kau bisa menyebutku kakak atau nama saja juga tidak apa. Aku kesini karena pak Dokter memintaku agar bisa membantu meringankan bebanmu. Kita bisa jadi teman kalau kau mau atau mungkin jadi tempat sampahmu. Hehe, maksudnya kau boleh cerita apa saja padaku dan tenang.. rahasiamu aman padaku. Bagaimana?”
Aku suka caranya menuturkan sesuatu. Aku ingin terlibat suatu obrolan dengannya. Kenapa harus takut? “Ya,” jawabku seraya mengangguk.
“Baiklah, kita mulai ya. Namamu siapa anak manis?”
Deg! Namaku.. nama... siapa namaku? “Aku.. aku.. bapakku tukang judi. Ibu, buruh cuci. Setiap hari mereka bertengkar hanya karena masalah kecil. Seperti makanan belum tersaji di meja, segelas kopi belum disediakan, uang belanja semakin berkurang. Sekolah, ya, hanya sampai dua SMP. Lalu mereka menendangku paksa gara-gara menunggak iuran gedung juga bulanan. Lima bulan lalu.. pagi itu mereka tidur dengan bersimbah banyak darah dan ternyata paman lintah darat yang menikamnya tengah malam. Sayangnya, paman tidak ditangkap sepertiku yang hanya mencuri seekor kambing. Padahal...”
Aku mencerocos tanpa jeda. Sama sekali tidak menjawab pertanyaan Revi. Terus berusaha menelusuri jejak ‘Siapakah aku?’ atau ‘Nama siapapun, bapak? Ibu? Orang yang kambingnya kucuri?’ Oh, tidak! Jangan-jangan... maksud sesuatu penting yang akan hilang itu..
“..... Ini pertama kali aku beraksi dan..” Tentu aku lihai berbohong. Tidak mungkin kan kartu emas mudah terbuka, termasuk kepada wanita ini. Pencurian terbesar pertama mungkin benar, tapi aksi ini sesungguhnya berada di nomor urut dua puluh satu. Aku bermain tangan tidak dibantu siapa-siapa. Maka, tingkat keberanian hasil curianku masih sebatas barang jualan, dompet, atau tas ibu-ibu di pasar. Pengecutkah? Ah, Tidak juga. Prinsipku adalah yang penting perut kenyang, tidur lelap.    
Kehabisan ide seketika aku bisu. Memberinya kesempatan mengulang pertanyaan awal, “Aku senang sekali kamu bisa seterbuka itu. Tetapi, bagaimana aku memanggilmu? Rasanya tidak sopan jika aku tidak memanggilmu dengan nama.”   
“Aku.. Lu-pa. Ti-dak ingat,” sahutku lemah.
“Maksudnya? Coba kamu ingat.”
 Apa wanita ini tuli?! Sejuta kali kuperintahkan otak untuk mencari berkas namaku, hasilnya pasti nihil! Daritadi juga aku mencoba! Namun semua nama yang pernah terlibat di hidupku... semua terhapus terseret darah dan luka yang mengering.
Tanpa diduga reaksi aneh langsung muncul. Aku berteriak keras. Meronta-ronta. Menutup kedua telinga seakan menghindari bisikan setan-setan nakal. Revi terlonjak kaget. Ia mundur menjauhiku seraya panik. Sosoknya berubah drastis di mataku saat bapak berstetoskop dan polisi berkumis tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Mereka menenangkanku dengan jarum suntik yang licik. Tak lama, bisa menembus benteng kulit ini.  
Aku baru paham. Rasanya terlanjur diperdayai. Mereka berdua juga mendengar... Tahu seluruh kisahku. Kecuali karirku. Namaku.  
***
Ketukan palu persidangan memutuskan hidupku dengan dunia luar. Walaupun sementara, gelar ‘NAPI’ alias narapidana itu membuat perutku mual. Delapan bulan ke depan harus bertatap muka dengan beragam makhluk asing lagi. Menahan diri agar tidak memuntahkan apa yang dimasak di sana.
Kepala tertunduk tidak membiarkan mataku berdiam saja. Di sela-sela hakim berceloteh, aku sengaja mencari dia dan dia. Si  laki-laki berjanggut pemilik kambing duduk tepat di sebelah kiriku. Si wanita penipu ulung berada di deretan ketiga, belakang kursi laki-laki berjanggut. Ia bersama orang-orang yang tidak terima dengan masa hukumanku. “Terlalu ringan pak hakim Yang Agung! Huh! Anak jalang,” demikian mereka tiada habis mencemooh. Mungkin bagi orang-orang desa Rawa Jomblang, seorang pencuri kambing tidak ada bedanya dengan koruptor rakus negeri ini.
Entahlah.. aku kan masih kanak-kanak.
Dua nama mulai mengacaukan pikiran, naluri, perasaan. Jaksa penuntut sesekali menyebut nama itu. Haji Salim dan Revi. Mereka  membuat bocah ingusan ini ingin membalaskan tumpukan amarah masa lalu. Lelah menjadi alas kaki manusia. Selalu diinjak dan direndahkan. Masalahnya, siapa orang tidak beruntung yang akan menjadi sasaranku?
“Kau ingin tahu siapa?” tanya Ongki. Sesama NAPI di Lembaga Pemasyarakatan khusus menjerat pelaku di bawah umur. Badannya pendek, agak gempal, ada dua tindikan di telinga kanannya, berambut gimbal, deretan gigi bawahnya berantakan, dan tahi lalat besar bertengger di sudut mata kirinya. Bulu matanya bahkan lentik! Ongki sangat jauh dari tipe tampang para penjahat. Dia pasti sedang mencari sekutu di sini agar tidak bosan dengan rutinitas. Sebenarnya, aku tahu dia tahanan yang baru mendekam tiga bulan. Ajaibnya dia bisa tahu segudang informasi di dalam sini melebihiku yang setengah tahun bergumul bersama sipir-sipir.  
Nafsu makanku langsung hilang. Ongki terus menyela, berkelakar hingga mulut berbusa tentang dirinya dan kejahatan yang diperbuat. Oke, ternyata dia terdakwa kasus tindak asusila adiknya sendiri yang masih balita usai nonton video porno. Kemudian, setelah berhubungan ia langsung mengadu dan mohon ampun pada ibu? Betul ‘kan! Dasar Ongki si kriminal kelas teri!          
“Sudahlah diam. Ini jam istirahat, aku mau kembali ke sel,” ucapku dingin agar ia cepat menyingkir.
“Akhirnya kau bicara Napi!! Kupikir selama ini kau..”
“Berhenti memanggilku ITU!” ujarku setengah berteriak sambil menggebrak meja. Suara bising Ongki lenyap. Sinar ketakutannya sekilas terpancar. Buru-buru aku bangkit, membuang makanan, lalu berjalan keluar kantin. Tapi terlambat.. aku dan kemarahanku jadi pusat perhatian sekarang.
“Hey! Bersikaplah baik kalau mau cepat bebas!” sahut Deni, satu-satunya sipir yang bersikap baik padaku. Itu juga gara-gara dia tidak pernah menyebutku ‘Napi’.
Aku tahu. Aku mengerti. Selama ini aku diam, tunduk pada segala perintah, memangnya supaya apa kau pikir?!
“Lihat si Napi bisu kayaknya mau marah.. meletus deh!”
 “Nggak punya nama aja belagu. Syukurin aja kali bisa dipanggil Napi!”
“Napi.. Napi.. Napi..”
Telinga ini sudah kebal caci maki sampah masyarakat seperti mereka. Lengkingan mereka mengudara lebih keras lagi. Dadaku mulai sesak. Sepasang tangan terkepal kuat. Baik kepala maupun hati perlahan ikut terbakar. Aku hampir saja meninju seseorang, sayangnya...
Remaja laki-laki kekar itu menubrukku dari belakang. Membiarkanku terjerembab di lantai. Ia setengah berlari, mengamuk, lalu mencekik sipir Deni yang berdiri di mulut gerbang kantin. Tindakannya membabi buta seperti kerasukan iblis. “KELUARKAN SAYA DARI SINI!” teriaknya.
 Tahanan lain yang belum puas menggodaku seketika menjerit. Berlarian kesana kemari. Suasana gaduh tidak keruan memancing sipir lain datang. Laki-laki itu masih menyerang Deni hingga pelipisnya mengalirkan darah. Sementara aku masih jatuh terduduk. Menyaksikan saksama peristiwa ini. Masuk ke dalam bayang-bayang kegagalan yang pahit. Wajah Haji Salim dan Revi pun bergantian muncul.
“Lakukan sesuatu atau Deni bisa mati!” ujar Ongki menyadarakan kembali. Ia segera membantuku berdiri. Memaksaku membantu sipir lain yang sulit memecahkan pertengkaran. Percaya atau tidak, kata-kata Ongki juga suara bisingnya meletupkan kobaran api yang sempat meredup. Mataku merah berkilat. Kaki-kaki berjalan tenang. Tanpa mengutarakan basa-basi. Satu hantaman sebenarnya cukup membuatnya pingsan. Tapi, pikiran, naluri, perasaan, serta emosiku mau lebih dari itu. Sudah waktunya...
Dia-lah orang yang sedang tidak beruntung menjadi sasaranku.
***
Satu minggu di sel pengasingan tanpa mengerjakan tugas justru membuat frustasi. Tiap hari hanya merenungkan bahan pernyataan kalau, ‘Penyesalan memang selalu datang terlambat’. Untunglah aku terbiasa meringkuk sendiri. Namun, jangan salah kira bila penyesalan itu akibat aku menghajar Boni si pecundang!
Sehari setelah kejadian itu, selku dipindah sementara kesini -tempat yang lebih pojok, gelap dan lembab. Ongki datang menemui, kemudian langsung minta maaf. Dia juga berbicara panjang lebar seperti biasa. Aku maklum. Sekali Ongki bersuara maka ia bakalan lupa bernafas.
“Orang yang kau bikin babak belur itu Boni. Dia adalah penguasa atau yang terkuat diantara tahanan di sini! Fisiknya terlalu besar untuk kami semua tandingi. Kata orang-orang, ini kali ke tiga ia mencekik sipir. Tapi, sebenarnya dia benar-benar pecundang! Bayangkan, dia tega mengambil nyawa kakak perempuannya tetapi tidak berani mengaku dan bertanggung jawab! Apa coba kalau namanya bukan Boni si pecundang? Hahaha...
...Aku ke sini mau minta maaf padamu. Kau memukulnya juga gara-gara hasutanku kan? Jadi aku, ya, bersalah. Aku minta dipindahkan di tempat kau tapi sipir Edi menolaknya. Ya... jujur, aku ini salut padamu. Padahal tubuhmu kurus kerempeng begitu, tetapi kekuatanmu kayak seribu tenaga kuda! Kau macam orang yang tangguh! Kau tahu kenapa aku ingin sekali berkawan denganmu? Karena meski kau suka menyendiri, dan kerjamu cuma mengerjakan perintah para sipir, tapi aku bisa menilai kau orang yang baik. Aku ingin balik lagi jadi orang sepertimu. Baik dan... bisa berdamai dengan diri sendiri... Oh iya! Sekarang banyak napi, eh, tahanan lain yang ingin berkenalan denganmu. Aksi kau menyelamatkan sipir Deni kemarin dianggap heroik, kawan! Eh.. maksudku ya, heroik... Ehm, Alah, sudahlah banyak kali aku bicara tapi kau diam saja. Kalau gitu, sudah dulu.”
“Ongki! Terima kasih.. Kurasa kita bisa berteman. Satu hal, aku.. bukan orang baik. Aku pencuri..”
Bukan pembunuh! Dan aku nyaris meregangkan nyawa Boni, meskipun dia juga hampir membuat Deni kehabisan nafas. Itulah yang menghantuiku. Menggangguku! Aku bisa gila! Bagaimana caraku menebus semuanya?! Aku terlanjur menodai proses kelancaran pembebasan ini! Apa aku harus berdoa? Pada siapa? Aku saja lupa nama Tuhanku!
Baru kali ini, hal memalukan terjadi. Seorang pencuri bodoh menguraikan air mata penyesalan. Ia bingung mengadu kepada siapa karena tidak tersisa tempat berkeluh kesah. Pada dasarnya, ia memang bocah-cengeng-ingusan. Kini, ia benar-benar menjilat kesepian juga kesunyian sendiri. Pahit. Lebih dari rasa pahit kegagalan mencuri kambing, dihajar orang-orang desa, ditipu daya seorang wanita, serta duduk di kursi pesakitan.
Aku jadi teringat ibu. Ketika ia dipukul bapak yang sedang mabuk. Ia tidak pernah membalas tamparan bapak bahkan di setiap pertengkaran mereka. Hanya satu kata yang sering ibu ucapakan,
“Astaghfirullahaladzim... Astaghfirullahaladzim...”   
“Kawan.. kenapa kau? Ayo buka mata kau,” panggil seseorang yang suaranya sangat kukenal.
Ongki bersama lima orang lainnya. Aku tidak kenal siapa mereka, tapi pernah sekilas ingat wajahnya masing-masing.
“Sudahlah kawan.. Jangan menangis lagi. Kau ini manusia tangguh! Ini kuajak orang-orang yang ingin mengenalmu lebih dekat. Ada Tori, Ical, Dewi, Salsa, dan Bagas,” sahut Ongki berusaha menenangkanku. Ia mengusap puncak kepalaku lembut. Begitu juga lima lainnya ikut menyemangati.
Tidak tahan lagi, aku memeluk Ongki dari balik jeruji besi. Sekali lagi, ia menenangkan dengan menepuk-nepuk punggungku. “Sabar kawan.. sabar..”  
            “Apa Boni sudah baikan?” tanyaku diantara isakan kami berdua.
            “Hari ini dia pulang kemari kawan. Hanya patah tulang di tangan dan retak sedikit di kaki. Otaknya aman-aman saja, tidak ada pendarahan serius. Besok juga kau bebas! Maksudku.. kembali ke sel mu yang lama. Pasti kau sudah dirindukan tuh,” jelas Ongki dengan menyelipkan sedikit guyonan.
            Aku terkekeh seraya melepaskan pelukan. “Bagaimana dengan Deni?”
            “Dia jauh lebih baik tapi masih butuh istirahat dan tinggal rawat jalan saja kawan,” jawab Tori.
            “Kabar baiknya, masa hukumanmu tidak akan berpengaruh terhadap kejadian itu kawan! Jadi tetap tinggal dua bulan lagi!” Ical turut menimpali.
            “Kami akan siap membantumu, kawan!” sahut Salsa dan Dewi berbarengan.
            Ada yang tidak beres. “Ngomong-ngomong, kenapa kalian kompak memanggilku ‘kawan’?”
            “Kata Ongki, kalo manggil kamu Napi lagi bisa gonjang-ganjing tanah seantero Nusantara,” celetuk Bagas. Ongki yang tak terima namanya dibawa-bawa langsung menjitaknya. “Becanda itu jangan diambil hati ya. Habis bingung kali kita mau ..”
            “Sudah-sudah Ongki, Bagas, Ical, Tori, Dewi, dan Salsa. Mulai sekarang sampai kapan pun, panggil aku ‘Napi’. Karena berkat nama itu, aku bisa menerima diriku lagi apa adanya.. begini adanya.. Berkat semuanya juga, aku mulai memaafkan diriku sendiri.”
            “NAPI!!!!” Teriak mereka serentak dan kami saling berpelukan. Bel sudah berbunyi dua kali tanda istirahat selesai. Mereka tidak berhenti bersorak menggaungkan namaku. Aku pasrah.
            Sebelum Ongki pamit, ia bertanya padaku, “Kau tahu tidak seorang bijak spritual, terkenal dengan gerakan perdamaian tanpa kekerasan. Dia kurus, botak, kacamatanya bulat. Siapa ya Ga.. Ga.?”
            “Oh, Gandhi?”
             Anggukan berkali-kali ditunjukkan Ongki, lalu ia membisikkan suatu kalimat agak panjang penuh penekanan. Setelah itu, Ongki mengacungkan jempolnya dan tersenyum. Saat bayangnya mulai pudar, aku tersadar ucapannya terlalu membekas.
***
            Sulit sekali menutup mata, hati, pikiran sejenak agar mereka beristirahat malam ini. Udara dingin menusuk. Langit bahkan terlihat lebih murung. Apalagi lampu dalam sel remang-remang.
            Dari sunyinya lantai mendadak terdengar langkah kaki. Lamat-lamat makin keras mendekat. Tak lama, pintu penjara berderit. Lantas aku bangun dan buru-buru mengucek mata. “Siapa di situ?”
            Tanpa basa-basi, kudengar sahutan, “Urusan kita berdua belum selesai. Masih ingat dengan orang yang hampir terbunuh? Kau sama saja menyebalkan dengan kakak perempuanku, Napi. ”
            “Aku bukan pembunuh,” balasku lirih. “Maafkan aku Boni.. Aku menyesal. Aku ingin kita berdam...”
            Aku tercekat! Belum sempat kata terakhir itu meluncur, sebilah pisau tertancap di perutku. Organ bagian dalam mungkin ada yang sobek. Boni menatapku nanar. Ia menyandarkan diri ke dinding. Tiba-tiba berteriak histeris. Empat penjaga langsung datang. Kulihat samar-samar, tangan Boni yang berlumuran darah diborgol, ia `dibawa keluar dengan paksa. Sejak saat itu, aku tidak pernah melihatnya lagi.
            Antara hidup dan mati. Aku meyakinkan ketepatan instingku. Orang baik sekali pun sepertinya tidak ada yang setulus laki-laki bernama Ongki.
***
            “NAPI! SAMPAI BERAPA LAMA KAU MAU BERDIRI DI SANA! KAU TAK BISU KAN? AYOLAH BANYAK YANG ANTRI INI!” Suara bising khas itu membangunkanku dari lamunan panjang. Sipir Deni memberi isyarat agar cepat bicara atau turun podium. Hari ini adalah hari istimewa bagi kami –narapidana anak. Semuanya berkesempatan untuk berkeluh kesah di aula ini.  
“Ehem. Baiklah. Aku teringat pada teman baikku yang pernah membisikkan kutipan seorang bijak spiritual, kurus, botak, berkacamata bulat... Mahatma Gandhi. Ia berkata, ‘Cinta tidak pernah meminta, ia senantiasa memberi. Cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan. Manakala kebencian membawa kepada kemusnahan.’ Kalian setuju bukan?”   
Aku mengacungkan dua ibu jari, “Kita semua hebat karena kita punya cinta. Tidak ada manusia jahat asalkan segala yang salah kita perbaiki. Selalu ada kesempatan untuk memperoleh kebenaran serta kebebasan. Itu saja.”
Dalam keheningan, setidaknya aku siap melangkah hidup lebih dewasa di dunia luar. Menghirup udara bebas. Ya, Dua minggu lagi. (15/7/13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MY L.O.V.E (PART 19) #Untold Story

SEBUAH PENGAKUAN (III) Diana menatap Micky, tatapan cowok itu begitu kelabu. Tidak ada sinar yang terpancar di sana. ...