Debat Sinting
Semua
bertepuk tangan keras. Suasana tampak meriah. Aku masih dipercaya berpidato. Untunglah
rasa nasionalis mereka tetap meletup-letup. Hari ini perayaan kami. Hanya itu
obat terampuh pelipur lara.
“Setelah kita menyanyikan lagu
Indonesia Raya, lanjut, bendera merah putih ada?”
Pria berkumis berdiri tegap,
mengacungkan jempolnya, “MERDEKA!”
“Kalau terompet?”
Gemuruh keras bebunyian dengan
nada-nada tanpa harmoni menyahut kesana kemari.
“Kapan kalian mau sudahi sandiwara
ini?” Salah seorang pemuda yang setengah berjongkok menyela. Pandangan sengit
langsung mengarah padanya.
“Apa maksudmu?”
Dia menunjuk pria tambun berkulit
hitam berhidung pesek. “Kamu tega meregangkan nyawa istri sendiri gara-gara
cemburu?!”
Wajahnya memucat, “Masa?”
Masih berkacak pinggang, “Kalian
juga! Dasar makhluk haus kehormatan perawan tak berdosa!”
Seketika barisan di depanku kaku seolah
mayat hidup, “Benarkah?”
“KAU!” Dua sinar mata itu siap
menikamku. “MERDEKA ITU BUKAN PESTA! MEREKA SEMUA HANYA TUKANG AMBIL ALIH
KEMERDEKAAN ORANG LAIN! KITA MASIH BERPERANG!” Emosinya membuncah. Sementara
yang lain mulai tampak gaduh. Aku berusaha menenangkannya.
“Kau
tidak akan mengerti apa-apa tentang merdeka,” ucapnya dingin.
Urat-urat saraf tegang karena merasa
ditantang. Perdebatan sengit tampak dari bola mata kami beradu lurus. Nyaris
tak berkedip. “Merdeka itu berarti bebas tidak boleh ada penindasan,” kataku dengan
satu tarikan nafas.
Dia
cekikikan. Lalu, mondar-mandir menggeleng-gelengkan kepala. Telunjuk kirinya
diacungkan ke udara. “Merdeka justru terikat aturan pasti dan didapat setelah
punya identitas.” Ucapnya lantang ditengah teriakan orang-orang lain di sini.
Yang menolak dianggap para penjahat. Satu per satu meraung berkali-kali ‘kata’
yang kami perdebatkan.
“Lantas
siapa kamu?”
Sinting!
Giliran amarahku beraksi. Beraninya mengaku-ngaku juga sebagai ‘Bapak
Proklamator’! Tak cukup satu hantaman saja. Aku terlanjur merdeka dan membabi
buta.
Beberapa
orang berseragam putih itu menyeruak masuk. Menangkap dan memegangi mereka
satu-satu. Termasuk aku.
“Suster
suntikkan obat penenang. Tambah dosisnya ke kedua orang itu! Petugas yang lain,
antarkan yang lain ke ruang rawatnya masing-masing. Ingat, jiwa mereka memang tidak
stabil.”
“Baik
Dokter.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar