Senin, 19 Januari 2015

Flash Fiction



Debat Sinting

Semua bertepuk tangan keras. Suasana tampak meriah. Aku masih dipercaya berpidato. Untunglah rasa nasionalis mereka tetap meletup-letup. Hari ini perayaan kami. Hanya itu obat terampuh pelipur lara.
            “Setelah kita menyanyikan lagu Indonesia Raya, lanjut, bendera merah putih ada?”
            Pria berkumis berdiri tegap, mengacungkan jempolnya, “MERDEKA!”
            “Kalau terompet?”
            Gemuruh keras bebunyian dengan nada-nada tanpa harmoni menyahut kesana kemari.
            “Kapan kalian mau sudahi sandiwara ini?” Salah seorang pemuda yang setengah berjongkok menyela. Pandangan sengit langsung mengarah padanya.
            “Apa maksudmu?”
            Dia menunjuk pria tambun berkulit hitam berhidung pesek. “Kamu tega meregangkan nyawa istri sendiri gara-gara cemburu?!”
            Wajahnya memucat, “Masa?”
            Masih berkacak pinggang, “Kalian juga! Dasar makhluk haus kehormatan perawan tak berdosa!”
            Seketika barisan di depanku kaku seolah mayat hidup, “Benarkah?”
            “KAU!” Dua sinar mata itu siap menikamku. “MERDEKA ITU BUKAN PESTA! MEREKA SEMUA HANYA TUKANG AMBIL ALIH KEMERDEKAAN ORANG LAIN! KITA MASIH BERPERANG!” Emosinya membuncah. Sementara yang lain mulai tampak gaduh. Aku berusaha menenangkannya.
“Kau tidak akan mengerti apa-apa tentang merdeka,” ucapnya dingin.
            Urat-urat saraf tegang karena merasa ditantang. Perdebatan sengit tampak dari bola mata kami beradu lurus. Nyaris tak berkedip. “Merdeka itu berarti bebas tidak boleh ada penindasan,” kataku dengan satu tarikan nafas.
Dia cekikikan. Lalu, mondar-mandir menggeleng-gelengkan kepala. Telunjuk kirinya diacungkan ke udara. “Merdeka justru terikat aturan pasti dan didapat setelah punya identitas.” Ucapnya lantang ditengah teriakan orang-orang lain di sini. Yang menolak dianggap para penjahat. Satu per satu meraung berkali-kali ‘kata’ yang kami perdebatkan.
“Lantas siapa kamu?”
Sinting! Giliran amarahku beraksi. Beraninya mengaku-ngaku juga sebagai ‘Bapak Proklamator’! Tak cukup satu hantaman saja. Aku terlanjur merdeka dan membabi buta.
Beberapa orang berseragam putih itu menyeruak masuk. Menangkap dan memegangi mereka satu-satu. Termasuk aku. 
“Suster suntikkan obat penenang. Tambah dosisnya ke kedua orang itu! Petugas yang lain, antarkan yang lain ke ruang rawatnya masing-masing. Ingat, jiwa mereka memang tidak stabil.”
“Baik Dokter.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MY L.O.V.E (PART 19) #Untold Story

SEBUAH PENGAKUAN (III) Diana menatap Micky, tatapan cowok itu begitu kelabu. Tidak ada sinar yang terpancar di sana. ...