Selasa, 20 Januari 2015

Cerpen




AOKIGAHARA, JAPAN

HUTAN BUNUH DIRI

            Tak pernah pernah terlintas dipikirannya akan menginjak tempat ini. Tempat bunuh diri paling diminati kedua di dunia, setelah Jembatan Golden Gate, San Fransisco. Lautan pohon yang telah berusia sekitar seribu dua ratus tahun. Akar-akarnya merambat kuat dalam tanah sebelah Barat Laut kaki Gunung Fuji. Tepatnya di Prefektur Yamanashi. Membentang dari Kota Kawaguchiko sampai Desa Narizawa. Papan-papan besar berisi petuah dan peringatan keras siap menyambut kedatangan tamunya. Berbagai kalimat ajakan sekaligus renungan dibuat pemerintah sedemikian rupa. Intinya, pikirkanlah jutaan kali sebelum Anda menghilangkan nyawa sendiri. Atau Anda akan menyesal selamanya.
Dan selama lima menit, Kenzi termenung meresapi pesan tersebut melalui akal sehatnya. Ini Gila! Dia tidak sedang stres apalagi putus asa. Otaknya juga tidak menumpuk masalah-masalah sepele. Tetapi, sepulang sekolah, langkahnya buru-buru meluncur ke sini. Kabar hilangnya Yuki, sahabatnya, yang baru ia dengar tadi pagi telah mengantarkan laki-laki itu memasuki mulut Hutan Aokigahara.
Desas-desus berita hilangnya Yuki langsung sampai ke telinga Kenzi. Dari mulut ke mulut para murid, tersebar informasi kalau Yuki tiba-tiba saja pergi dari rumah tanpa pamit. Hana-ibu Yuki- pun panik saat anak semata wayangnya tidak pulang ke rumah sejak kemarin. Ia sempat bertanya pada tetangga sekitar. Menghubungi beberapa teman perempuan di sekolah gadis itu. Bahkan mencari ke beberapa kediaman yang sering disinggahi putrinya, seperti toko buku dan taman. Alhasil, nihil. Lalu, ia pun melapor kepada polisi setempat dalam keadaan histeris.
Sebentar lagi giliran senja membentangkan sayap kemerahannya. Waktu yang ia punya sedikit, sebelum gulita mulai memeluk bumi. Sepasang kakinya bergerak hati-hati seraya mengatur ritme jantungnya yang berantakan. Tentu, Kenzi tidak bodoh. Ia seringkali menepis hal-hal berbau mitos atau takhayul. Namun, tetap saja sulit rasanya mencoba pura-pura tidak tahu. Atau sekadar mengabaikan wajah muram tempat yang telah menyimpan kisah-kisah kematian paksa penduduk Jepang.
Konon, sejak tahun 1900-an muncul tradisi bunuh diri di Aokigahara. Akan tetapi, Kenzi justru baru mengenal misteri tersebut setelah melahap habis tulisan Seicho Matsumoto. Alur novelnya berjudul Kuroi Jukai (Black Sea of Trees), diakhiri dengan sepasang kekasih yang memutuskan mengakhiri hidup di hutan itu. Kenzi juga banyak mendengar pemberitaan dari media terkait tingginya jumlah kasus bunuh diri di sana. Penemuan relawan setempat sampai saat ini, kabarnya mencapai 500 jenazah. Orang Jepang pun semakin percaya bahwa Aokigahara merupakan tempat persemayaman roh jahat. Kecuali Kenzi yang kadang menganggap semua itu lelucon belaka.
Sepanjang menaklukan sedikit demi sedikit jalanan setapak Aokigahara, sesekali angin meniup pepohonan rimbun itu. Tiupannya seolah-olah membentuk ombak di laut. Keheningan, kelembaban, kegelapan lamat-lamat berbaur menjadi satu kesatuan. Melahirkan aroma kengerian yang menusuk hidung Kenzi. Untunglah lampu senter dari telepon genggamnya dapat mengganti sinar matahari yang terhalangi pohon yang tumbuh saling berdekatan.
Ia mengandalkan potongan-potongan selotip plastik sebagai penanda jejak agar tak tersesat. Tanpa terasa hampir tiga jam, kakinya menyusuri kedalaman hutan yang dijuluki, ‘Hutan Bunuh Diri’ dan ‘Hutan Setan’. Pikiran dan hatinya tidak boleh dibiarkan kosong walau sepersekian detik. Jangan sampai memberi celah masuk se-inchi-pun pada aura negatif! batinnya mengingatkan. Kedua mata sipitnya yang terus dipicingkan karena jarak pandang ke jantung hutan terbatas, perlahan membuat kepalanya berdenyut bagai dihantam palu besi.
Fokus! Fokus! Fokus! Demi Yuki. Sekali lagi, demi bertemu Y-U-K-I!
Sayangnya, lutut laki-laki itu mulai gemetar. Tenaganya surut dan punggungnya terasa sakit sekali. Memanggul ransel sekolah bahkan terasa seperti mengangkut karung berisi ribuan logam. Kenzi akhirnya memilih beristirahat sejenak. Ia duduk sambil bersandar pada sebatang pohon besar yang tinggi menjulang. Sekujur otot-otot tubuh direnggangkan. Ia membuka ransel abu-abunya, mengambil dan menghabiskan sisa air minum dalam botol kemasan. Kemudian, lehernya mendongak ke atas, ia menatap titik-titik oranye yang begitu pekat. Mungkin matahari sedang mengemas barangnya, hendak pulang.
Sejujurnya, ia dulu pernah menilai Aokigahara, indah dan salah satu destinasi wisata paling menarik. Bukan karena kesan seramnya, melainkan dipicu oleh suasana sepi, tenang, serta keasrian pemandangannya. Alami dan belum banyak digerayangi tangan-tangan manusia. Pada saat itu, ia hanya mengukur kecantikan hutan ini dari beragam hasil jepretan wisatawan di internet. Entah, ia membayangkan Aokigahara ibarat sekumpulan jamur berutudung hijau raksasa. Dan hari ini, Kenzi membuktikan bahwa foto-foto itu memang serupa aslinya.
Kelopak matanya sengaja ditutup. Dalam kondisi terpejam, sekelebat bayangan Yuki langsung hadir. Benang pertemanan mereka terajut sejak bermain di bangku sekolah dasar. Senyum yang menjadi aksesori utama pada bibir mungilnya. Cahaya matanya yang berbinar-binar. Rona merah jambu muncul dari kedua pipinya yang suka menggembung. Rambutnya sehitam warna kecap asin senantiasa terkepang satu. Sayang, segalanya berubah drastis tepat seminggu lalu. Ketika ayahnya, Tadeo, meninggal tragis.
Air mata Yuki bahkan tak tampak kala perpisahan kedua orangtuanya setahun sebelumnya. Kemudian, ia pindah rumah dan tinggal bersama ibunya. Hana yang hanya mengizinkan Yuki bertemu ayahnya sebulan sekali, juga membatasi pergaulan putrinya itu. Melarang Yuki bergaul dengan laki-laki, termasuk Kenzi. Tanpa alasan jelas.  Sejak saat itu pula, mereka berdua sesekali berkirim surat. Bertukar kabar sekaligus cerita hingga berlembar-lembar.
Upacara pemakaman Tadeo mempertemukan keduanya. Baru kali pertama, Kenzi melihat Yuki menangis tanpa suara. Air matanya mengalir lembut tanpa jeda. Penampilan terakhir gadis itu masih terekam jelas. Semua serba hitam. Baju terusan, sepasang sarung tangan kain, dan sepatu kulitnya. Yuki juga menyembunyikan hidung kecilnya yang berair dengan saputangan hitam. Rambut kepangannya berubah jadi rambut lurus sebahu yang hitamnya pudar.
Setelah saling memeluk dan menguatkan, Yuki terus berbisik, “Aku sendirian. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi. Tidak ada lagi yang bisa kurindukan.”
“Kan, ada aku. Masa kamu tidak akan kangen?” canda Kenzi sambil berharap melihat kembali senyumannya. Dan, cukup berhasil walau sekilas.
“Kenapa ayahku harus mati bunuh diri? Apakah aku yang membuatnya frustasi? Apa mereka dulu bercerai juga gara-gara aku?Kenapa nafasnya harus berhenti di tempat yang dulu paling ia benci?” tanyanya bertubi-tubi. Suara sengaunya nyaris tertelan udara. Tatapannya mengarah lurus ke depan. Kosong.
“Kadang banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab manusia. Dan jawabannya menjadi rahasia semesta.”
“Kalau begitu, suatu saat, aku akan menguak rahasia semesta yang terpendam di Hutan ‘sialan’ Aokigahara. Menemukan penyebab kematian ayahku di sana. Bagaimana menurutmu?”
Kenzi terkekeh, “Jangan bercanda.” Lalu, menyaksikan senyuman Yuki terakhir kalinya. Sorotan matanya tajam bercampur dingin turut membekas.
Usai rekaman percakapan pertama dan terakhirnya dengan Yuki berputar, ingatan tentang benda-benda yang dilihatnya sewaktu menembus sela pohon-pohon Aokigahara berdatangan. Di beberapa titik, lewat pencahayaan senternya, Kenzi masih bisa menangkap adanya pita-pita merah, botol-botol sake kosong, tas kerja, dompet, kartu kredit, gunting, serta kaus kaki bekas. Kata orang, semuanya itu merupakan barang-barang peninggalan bekas para pelaku sebelum mereka mengeksekusi diri.
Kenzi yang terbangun, langsung bangkit susah payah. Keringat membasahi seragam putihnya. Sekarang, matahari benar-benar balik ke peraduannya. Menyisakan bulan-bintang yang samar-samar menggantung di langit. Jadi, berapa lama tadi ia tertidur?
Lolongan panjang berasal dari suara anjing atau mungkin serigala mengagetkan Kenzi. Terdengar lengkingan menyedihkan saling bersahutan. Meski, ia tidak melihat wujudnya itu di dekatnya. Kesadaran Kenzi lantas pulih total. Lalu, sisi logikanya menyuruh agar ia segera pergi meninggalkan hutan. Melanjutkan pencarian sahabatnya esok hari. Sepasang matanya, melalui cahaya remang-remang, sibuk menyapu sekeliling. Mencari-cari selotip plastik –si penanda jalan. Mengais di balik dedaunan kering yang gugur berserakan. Sepuluh menit berlalu, ia sadar, satu-satunya penanda jalan hilang. Dan dirinya tersesat.
Antara kecemasan dan kekhawatiran silih berganti menyergap benaknya. Pertahanan benteng aura positif agaknya melemah. Kenzi masih diam berdiri tegak. Bola mata kiri mengawasi. Sementara, bola mata kanan bersiaga. Tangan kirinya menggenggam kuat-kuat senter handphone-nya. Sinyal komunikasi bahkan seakan-akan diredam daya magis pepohonan tua ini.
Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Kenzi mengucek matanya. Mengerjapkannya berkali-kali. Pertanda meminta penjelasan terhadap sesuatu yang ada di hadapannya. Seraya berusaha menebak benda apa yang tengah bergerak-gerak.
Jantung, paru-paru, ginjal, hati, sampai lambung hampir saja melompat keluar bersamaan dari tubuh jangkung Kenzi. Seutas tali tambang putih kusam tergantung dan bergoyang-goyang lambat ke kanan-kiri. Di lubang gantungannya tidak kosong. Sosok dengan tubuh kaku dan membiru. Memakai pakaian pekerja bangunan berwarna kuning lusuh bercampur noda tanah. Kumis pria paru baya itu khas. Agak tebal, hitam, dan bentuknya mirip kumis Adolf Hitler. Kulit yang sepucat zombie. Kepalanya merunduk. Tidak salah lagi... Itu...
TADEO!
Tiba-tiba bau anyir menyeruak. Mayat ayah Yuki sekejap berubah tinggal tulang-belulang dengan kepala tengkorak masih terjebak dalam lingkaran tambang. Kenzi spontan mundur lima langkah. Terpeleset batu, lalu kehilangan keseimbangan. Mendadak dunianya berubah gelap.
***
KENZI-SAN! KENZI-SAN! BANGUN! CEPAT BANGUN!”
Aku seakan bangkit dari tidur panjang. Menemukan diri terkapar tak berdaya di tanah yang kata orang mengandung batuan vulkanik. Tanah Hutan Aokigahara. Tunggu sebentar... Apa sekarang aku di surga atau... jangan-jangan ini neraka tingkat sembilan?
Mulutku terbuka lebar, baru saja ingin berteriak seperti orang kesurupan, tangan sedingin es itu keburu membekapku. “Ssst, diam. Aku Yuki-chan, percayalah. Lihat aku baik-baik dan tenang.”
Yuki-chan?” Aku langsung menatapnya, menyentuh dan meraba kedua pipinya. Bibir mungil itu. Batang hidungnya yang kecil. Mengusap rambut sebahunya. “Kamu baik-baik saja? Aku mencarimu. Syukurlah!” ujarku sambil memeluknya erat.
“Kamu sakit? Tubuhmu dingin sekali. Wajahmu pucat pasi. Kamu pasti belum makan atau minum atau...”
Kenzi-san, kenapa kamu bisa ada di sini? Di sini berbahaya,” potongnya setengah berbisik.
Kuamati sebentar. Seragam sekolah yang kemarin masih menempel di tubuhnya. Kotor, penuh noda tanah. Cahaya dari sepasang mata indanya berubah kelabu. “Aku mencarimu. Aku sudah menduga, kamu beneran kesini untuk menguak rahasia semesta. Sudahlah. Ayo, kita pulang.”
Ia menggeleng tegas. “Kamu bodoh karena menyusulku,” desisnya tajam.
Aku terperangah mendengarnya hingga kehabisan stok kata-kata. Lalu, ia melanjutkan, “Dengar, akulah korban keputus-asaan itu. Bukan kamu. Aku akan bersalah seumur hidup-matiku karena membiarkanmu nyaris menjadi tumbal para iblis keji. Dan sekarang, kamu ikut denganku sebelum semuanya terlambat. Oke?”
Tidak ada satu kalimatnya pun yang kucerna. Tumbal iblis keji? Mimpi aneh apa lagi? Tidak masuk akal! Mungkin Yuki masih syok bertemu denganku setelah seharian lebih tersesat di hutan mengerikan ini. Aku menjejarkan langkahku dengannya tanpa bicara. Aku sudah cukup bahagia, melihatnya selamat dan baik-baik saja. Takjub membayangkan perjuangannya untuk bertahan. Banyak sekali yang ingin kutanyakan.
“Dengar, Kenzi-san, setelah ini, pokoknya maafkan aku. Kamu tahu, seharusnya aku menerima kenyataan bahwa rahasia semesta terlalu menyakitkan untuk diketahui. Para iblis keji, penghuni Hutan ‘sialan’ ini sudah menyantap jiwa ayahku. Aku melihat mereka menghisapnya dengan nikmat tanpa sisa. Menjijikan.  Seharusnya aku bersyukur, jasad ayahku masih ditemukan utuh. Dan, cukuplah aku yang bodoh dengan kemalanganku. Tapi, melihat kamu ada di sini, sepertinya aku akan tenang dan cahaya bulan bisa segera mengambilku. Dan aku bebas dari neraka dunia ini. Giliranku. Biarkan aku menolongmu...” Yuki meracau panjang dengan masih setengah berbisik. Tak hanya itu, aku menangkap nada kesedihan yang berusaha ditahannya. Lagi-lagi, aku juga tak mampu memahami tiap kicauannya.
Ia menghentikan langkahnya dan meminta aku merapatkan diri ke belakang punggungnya. Yuki menempelkan telunjuk kanannya di bibir mungilnya. Kami berdua mengendap-endap seperti dua agen mata-mata yang akan menyergap gembong Yakuza. “Lihatlah sendiri,” perintahnya.
Oke, kurasa Aokigahara seketika berubah menjadi penjelmaan neraka. Hutan hijau nan asri itu seolah musnah. Kulihat tubuh iblis-iblis yang masih seukuran manusia, tapi ototnya lebih besar ketimbang binaragawan. Kulitnya keras dan agak bersisik, juga terasa kasar meski tidak menyentuhnya. Sekujur tubuh serta bayangannya memancarkan merahnya bara api dari jauh. Percaya atau tidak, mereka memiliki tiga tanduk berujung runcing. Wajahnya pun seperti habis terkena cairan biru spiritus. Setengah meleleh, setengah tidak. Aku tak sanggup mendeskripsikannya lebih jauh. Bau busuk mereka berhasil membuat perutku mual.  
“Kenapa aku bisa melihat semua ini?” tanyaku sangat pelan seakan bertanya kepada diri sendiri.
“Mereka membuka koneksi batin dengan manusia yang merasa putus asa, ketakutan, depresi, dan sebagainya.
“Ragamu masih di sana. Kamu sekarang dalam keadaan pingsan. Dan ruhmu harus cepat mengambil alih tubuh itu. Sebelum mereka menyantap jasadmu. Kalau sampai terjadi, maka kamu akan... Aku pasti menyalahkan diriku dan menyesalkannya. Makanya, kumohon setelah kamu sadar, larilah dan jangan menengok ke belakang apapun yang terjadi. Ikuti cahaya bulan, dan aku lekas menuntunmu keluar.”
Bisikan Yuki berhembus seraya menyatu dengan angin, lalu menyusup rongga-rongga telingaku. Sedangkan, aku terpaku memandang tubuhku yang tak bergerak. “Bagaimana denganmu?” tanyaku was-was.
“Aku akan selamat apabila kamu melakukan semua yang kukatakan.”
“Dan kalau aku melanggar?”
“Kita berdua lenyap. Atau bergabung dengan mereka.”
Kerongkonganku tercekat. Butuh beberapa saat agar tidak salah membulatkan keputusan. Yuki tiba-tiba tersenyum. Sudah lama aku menunggu bibir mungilnya memoles senyum tulus. Lalu, kurasakan bibir sedingin es itu mengecup bibirku yang kaku. Setelah itu, ia berucap, “Kamu adalah sahabat terbaikku. Ingatlah aku, ingatlah kita. Oke?”
Aku mengangguk.
“Kalau sadar, larilah sekencang angin. Jangan menengok ke belakang apapun yang terjadi. Janji?”
Pilihanku hanya satu agar kami selamat, “Janji.”
***
Yuki merusak pesta para iblis keji. Mereka sangat murka hingga mengacuhkan raga manusia yang akan menjadi hidangan pencuci mulut malam ini. Kenzi langsung mengambil kesempatan emas tersebut.
Ruhnya melesat menubruk tubuhnya, dan jantungnya pun berdetak cepat. Kedua matanya terbuka lebar. Kakinya siap berlari. Entah dorongan apa yang membuatnya mampu berlari membabi buta. Ia sempat menyaksikan, mendengar teriakan, sekelebat bayangan Yuki meronta. Pisau api yang menyala-nyala menusuk gadis itu. Di belakangnya, sebagian iblis lain mengejar tawanan manusianya yang kabur. Namun, cahaya bulan seakan memudahkan Kenzi menemukan jalan keluar. Laki-laki itu memenuhi janjinya. Ia berlari dan tidak lagi menengok ke belakang.  
Ia tidak peduli sudah sejauh apa berlari. Hutan bunuh diri itu bahkan tidak terlalu kelihatan lagi. Kenzi diam, lalu duduk meluruskan kedua kakinya di tengah jalan raya besar. Sang fajar mungkin hampir tiba. Ia menunggu Yuki. Kenzi tahu sahabatnya itu benci kebohongan.
Cahaya bulan turun dan mengangkat sesosok makhluk dari hutan terkutuk itu. Senyuman tulus yang hanya dimiliki sahabatnya dapat dikenali mudah.
“Jiwaku bebas. Kita berdua selamat. Tetapi, kita harus terpisah sementara. Percayalah, aku selalu dihatimu. Berjanjilah untuk tidak menyia-nyiakan hidupmu, Kenzi-san. Benda inilah kunci kebodohanku supaya bisa menguak rahasia semesta. Hmm, setelah itu, kirim benda ini kepada ibuku, oke? Arigatou!
Sayup-sayup suara Yuki makin mengecil, lalu menghilang. Tak lama, Kenzi bangkit dan mendapati sebelah tangannya menggenggam sebotol obat racun serangga yang telah kosong.
(TAMAT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MY L.O.V.E (PART 19) #Untold Story

SEBUAH PENGAKUAN (III) Diana menatap Micky, tatapan cowok itu begitu kelabu. Tidak ada sinar yang terpancar di sana. ...