![]() |
AOKIGAHARA, JAPAN |
HUTAN
BUNUH DIRI
Tak pernah pernah terlintas
dipikirannya akan menginjak tempat ini. Tempat bunuh diri paling diminati kedua
di dunia, setelah Jembatan Golden Gate, San Fransisco. Lautan pohon yang telah
berusia sekitar seribu dua ratus tahun. Akar-akarnya merambat kuat dalam tanah
sebelah Barat Laut kaki Gunung Fuji. Tepatnya di Prefektur Yamanashi. Membentang
dari Kota Kawaguchiko sampai Desa Narizawa. Papan-papan besar berisi petuah dan
peringatan keras siap menyambut kedatangan tamunya. Berbagai kalimat ajakan
sekaligus renungan dibuat pemerintah sedemikian rupa. Intinya, pikirkanlah jutaan kali sebelum Anda menghilangkan
nyawa sendiri. Atau Anda akan menyesal selamanya.
Dan
selama lima menit, Kenzi termenung meresapi pesan tersebut melalui akal
sehatnya. Ini Gila! Dia tidak sedang stres apalagi putus asa. Otaknya juga tidak
menumpuk masalah-masalah sepele. Tetapi, sepulang sekolah, langkahnya buru-buru
meluncur ke sini. Kabar hilangnya Yuki, sahabatnya, yang baru ia dengar tadi
pagi telah mengantarkan laki-laki itu memasuki mulut Hutan Aokigahara.
Desas-desus
berita hilangnya Yuki langsung sampai ke telinga Kenzi. Dari mulut ke mulut
para murid, tersebar informasi kalau Yuki tiba-tiba saja pergi dari rumah tanpa
pamit. Hana-ibu Yuki- pun panik saat anak semata wayangnya tidak pulang ke
rumah sejak
kemarin. Ia sempat bertanya pada tetangga sekitar. Menghubungi beberapa teman perempuan
di sekolah gadis itu. Bahkan mencari ke beberapa kediaman yang sering
disinggahi putrinya, seperti toko buku dan taman. Alhasil, nihil. Lalu, ia pun melapor
kepada polisi setempat dalam keadaan histeris.
Sebentar
lagi giliran senja membentangkan sayap kemerahannya. Waktu yang ia punya
sedikit, sebelum gulita mulai memeluk bumi. Sepasang kakinya bergerak hati-hati
seraya mengatur ritme jantungnya yang berantakan. Tentu, Kenzi tidak bodoh. Ia
seringkali menepis hal-hal berbau mitos atau takhayul. Namun, tetap saja sulit
rasanya mencoba pura-pura tidak tahu. Atau sekadar mengabaikan wajah muram tempat
yang telah menyimpan kisah-kisah kematian paksa
penduduk Jepang.
Konon,
sejak tahun 1900-an muncul tradisi bunuh diri di Aokigahara. Akan tetapi, Kenzi
justru baru mengenal misteri tersebut setelah melahap habis tulisan Seicho Matsumoto. Alur novelnya
berjudul Kuroi Jukai (Black Sea of Trees),
diakhiri dengan sepasang kekasih yang memutuskan mengakhiri hidup di hutan itu.
Kenzi juga banyak mendengar pemberitaan dari media terkait tingginya jumlah
kasus bunuh diri di sana. Penemuan relawan setempat sampai saat ini, kabarnya mencapai
500 jenazah. Orang Jepang pun semakin percaya bahwa Aokigahara merupakan tempat
persemayaman roh jahat. Kecuali Kenzi yang kadang menganggap semua itu lelucon
belaka.
Sepanjang
menaklukan sedikit demi sedikit jalanan setapak Aokigahara, sesekali angin meniup
pepohonan rimbun itu. Tiupannya seolah-olah membentuk ombak di laut. Keheningan,
kelembaban, kegelapan lamat-lamat berbaur menjadi satu kesatuan. Melahirkan
aroma kengerian yang menusuk hidung Kenzi. Untunglah lampu senter dari telepon
genggamnya dapat mengganti sinar matahari yang terhalangi pohon yang tumbuh
saling berdekatan.
Ia
mengandalkan potongan-potongan selotip plastik sebagai penanda jejak agar tak
tersesat. Tanpa terasa hampir tiga jam, kakinya menyusuri kedalaman hutan yang
dijuluki, ‘Hutan Bunuh Diri’ dan ‘Hutan Setan’. Pikiran dan hatinya tidak boleh
dibiarkan kosong walau sepersekian detik. Jangan
sampai memberi celah masuk se-inchi-pun pada aura negatif! batinnya
mengingatkan. Kedua mata sipitnya yang terus dipicingkan karena jarak pandang
ke jantung hutan terbatas, perlahan membuat kepalanya berdenyut bagai dihantam
palu besi.
Fokus!
Fokus! Fokus! Demi Yuki. Sekali lagi, demi bertemu Y-U-K-I!
Sayangnya,
lutut laki-laki itu mulai gemetar. Tenaganya surut dan punggungnya terasa sakit
sekali. Memanggul ransel sekolah bahkan terasa seperti mengangkut karung berisi
ribuan logam. Kenzi akhirnya memilih beristirahat sejenak. Ia duduk sambil
bersandar pada sebatang pohon besar yang tinggi menjulang. Sekujur otot-otot
tubuh direnggangkan. Ia membuka ransel abu-abunya, mengambil dan menghabiskan sisa air minum
dalam botol kemasan. Kemudian, lehernya mendongak ke atas, ia menatap
titik-titik oranye yang begitu pekat. Mungkin matahari sedang mengemas
barangnya, hendak pulang.
Sejujurnya,
ia dulu pernah menilai Aokigahara, indah dan salah satu destinasi wisata paling
menarik. Bukan karena kesan seramnya, melainkan dipicu oleh suasana sepi,
tenang, serta keasrian pemandangannya. Alami dan belum banyak digerayangi
tangan-tangan manusia. Pada saat itu, ia hanya mengukur kecantikan hutan ini
dari beragam hasil jepretan wisatawan di internet. Entah, ia membayangkan
Aokigahara ibarat sekumpulan jamur berutudung hijau raksasa. Dan hari ini,
Kenzi membuktikan bahwa foto-foto itu memang serupa aslinya.
Kelopak
matanya sengaja ditutup. Dalam kondisi terpejam, sekelebat bayangan Yuki
langsung hadir. Benang pertemanan mereka terajut sejak bermain di bangku
sekolah dasar. Senyum yang menjadi aksesori utama pada bibir mungilnya. Cahaya
matanya yang berbinar-binar. Rona merah jambu muncul dari kedua pipinya yang
suka menggembung. Rambutnya sehitam warna kecap asin senantiasa terkepang satu.
Sayang, segalanya berubah drastis tepat seminggu lalu. Ketika ayahnya, Tadeo,
meninggal tragis.
Air
mata Yuki bahkan tak tampak kala perpisahan kedua orangtuanya setahun
sebelumnya. Kemudian, ia pindah rumah dan tinggal bersama ibunya. Hana yang
hanya mengizinkan Yuki bertemu ayahnya sebulan sekali, juga membatasi pergaulan
putrinya itu. Melarang Yuki
bergaul dengan laki-laki, termasuk Kenzi. Tanpa alasan jelas. Sejak saat itu pula, mereka berdua sesekali
berkirim surat. Bertukar kabar sekaligus cerita hingga berlembar-lembar.
Upacara
pemakaman Tadeo mempertemukan keduanya. Baru kali pertama, Kenzi melihat Yuki menangis
tanpa suara. Air matanya mengalir lembut tanpa jeda. Penampilan terakhir gadis
itu masih terekam jelas. Semua serba hitam. Baju terusan, sepasang sarung
tangan kain, dan sepatu kulitnya. Yuki juga menyembunyikan hidung kecilnya yang
berair dengan
saputangan hitam. Rambut kepangannya berubah jadi rambut lurus sebahu yang
hitamnya pudar.
Setelah
saling memeluk dan menguatkan, Yuki terus berbisik, “Aku sendirian. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi. Tidak ada lagi
yang bisa kurindukan.”
“Kan, ada aku. Masa
kamu tidak akan kangen?” canda Kenzi sambil berharap melihat kembali senyumannya.
Dan, cukup berhasil walau sekilas.
“Kenapa ayahku harus
mati bunuh diri? Apakah aku yang membuatnya frustasi? Apa mereka dulu bercerai juga
gara-gara aku?Kenapa nafasnya harus berhenti di tempat yang dulu paling ia
benci?” tanyanya bertubi-tubi. Suara sengaunya nyaris tertelan udara.
Tatapannya mengarah lurus ke depan. Kosong.
“Kadang banyak
pertanyaan yang tidak bisa dijawab manusia. Dan jawabannya menjadi rahasia
semesta.”
“Kalau begitu, suatu
saat, aku akan menguak rahasia semesta yang terpendam di Hutan ‘sialan’
Aokigahara. Menemukan penyebab kematian ayahku di sana. Bagaimana menurutmu?”
Kenzi terkekeh, “Jangan
bercanda.” Lalu, menyaksikan senyuman Yuki terakhir kalinya. Sorotan matanya
tajam bercampur dingin turut membekas.
Usai
rekaman percakapan pertama dan terakhirnya dengan Yuki berputar, ingatan
tentang benda-benda yang dilihatnya sewaktu menembus sela pohon-pohon
Aokigahara berdatangan. Di beberapa titik, lewat pencahayaan senternya, Kenzi
masih bisa menangkap adanya pita-pita merah, botol-botol sake kosong, tas
kerja, dompet, kartu kredit, gunting, serta kaus kaki bekas. Kata orang,
semuanya itu merupakan barang-barang peninggalan bekas para pelaku sebelum
mereka mengeksekusi diri.
Kenzi
yang terbangun, langsung bangkit susah payah. Keringat membasahi seragam putihnya. Sekarang,
matahari benar-benar balik ke peraduannya. Menyisakan bulan-bintang yang
samar-samar menggantung di langit. Jadi, berapa lama tadi ia tertidur?
Lolongan
panjang berasal dari suara anjing atau mungkin serigala mengagetkan Kenzi. Terdengar
lengkingan menyedihkan saling bersahutan. Meski, ia tidak melihat wujudnya itu
di dekatnya. Kesadaran Kenzi lantas pulih total. Lalu, sisi logikanya menyuruh
agar ia segera pergi meninggalkan hutan. Melanjutkan pencarian sahabatnya esok
hari. Sepasang matanya, melalui cahaya remang-remang, sibuk menyapu sekeliling.
Mencari-cari selotip plastik –si penanda jalan. Mengais di balik dedaunan
kering yang gugur berserakan. Sepuluh menit berlalu, ia sadar, satu-satunya penanda
jalan hilang. Dan dirinya tersesat.
Antara
kecemasan dan kekhawatiran silih berganti menyergap benaknya. Pertahanan
benteng aura positif agaknya melemah. Kenzi masih diam berdiri tegak. Bola mata
kiri mengawasi. Sementara, bola mata kanan bersiaga. Tangan kirinya menggenggam
kuat-kuat senter handphone-nya. Sinyal
komunikasi bahkan seakan-akan diredam daya magis pepohonan tua ini.
Satu
kali. Dua kali. Tiga kali. Kenzi mengucek matanya. Mengerjapkannya berkali-kali.
Pertanda meminta penjelasan terhadap sesuatu yang ada di hadapannya. Seraya berusaha
menebak benda apa yang tengah bergerak-gerak.
Jantung,
paru-paru, ginjal, hati, sampai lambung hampir saja melompat keluar bersamaan
dari tubuh jangkung Kenzi. Seutas tali tambang putih kusam tergantung dan
bergoyang-goyang lambat ke kanan-kiri. Di lubang gantungannya tidak kosong.
Sosok dengan tubuh kaku dan membiru. Memakai pakaian pekerja bangunan berwarna
kuning lusuh bercampur noda tanah. Kumis pria paru baya itu khas. Agak tebal,
hitam, dan bentuknya mirip kumis Adolf Hitler. Kulit yang sepucat zombie. Kepalanya merunduk. Tidak salah
lagi... Itu...
TADEO!
Tiba-tiba
bau anyir menyeruak. Mayat ayah Yuki sekejap berubah tinggal tulang-belulang
dengan kepala tengkorak masih terjebak dalam lingkaran tambang. Kenzi spontan
mundur lima langkah. Terpeleset batu, lalu kehilangan keseimbangan. Mendadak dunianya
berubah gelap.
***
“KENZI-SAN! KENZI-SAN! BANGUN! CEPAT
BANGUN!”
Aku
seakan bangkit dari tidur panjang. Menemukan diri terkapar tak berdaya di tanah
yang kata orang mengandung batuan vulkanik. Tanah Hutan Aokigahara. Tunggu
sebentar... Apa sekarang aku di surga atau... jangan-jangan ini neraka tingkat
sembilan?
Mulutku
terbuka lebar, baru saja ingin berteriak seperti orang kesurupan, tangan
sedingin es itu keburu membekapku. “Ssst, diam. Aku Yuki-chan, percayalah. Lihat aku baik-baik dan tenang.”
“Yuki-chan?” Aku langsung menatapnya,
menyentuh dan meraba kedua pipinya. Bibir mungil itu. Batang hidungnya yang
kecil. Mengusap rambut sebahunya. “Kamu baik-baik saja? Aku mencarimu.
Syukurlah!” ujarku sambil memeluknya erat.
“Kamu
sakit? Tubuhmu dingin sekali. Wajahmu pucat pasi. Kamu pasti belum makan atau
minum atau...”
“Kenzi-san, kenapa kamu bisa ada di sini?
Di sini berbahaya,” potongnya setengah berbisik.
Kuamati
sebentar. Seragam sekolah yang kemarin masih menempel di tubuhnya. Kotor, penuh
noda tanah. Cahaya dari sepasang mata indanya berubah kelabu. “Aku mencarimu.
Aku sudah menduga, kamu beneran kesini untuk menguak rahasia semesta. Sudahlah.
Ayo, kita pulang.”
Ia
menggeleng tegas. “Kamu bodoh karena menyusulku,” desisnya tajam.
Aku
terperangah mendengarnya hingga kehabisan stok kata-kata. Lalu, ia melanjutkan,
“Dengar, akulah korban keputus-asaan itu. Bukan kamu. Aku akan bersalah seumur
hidup-matiku karena membiarkanmu nyaris menjadi tumbal para iblis keji. Dan
sekarang, kamu ikut denganku sebelum semuanya terlambat. Oke?”
Tidak
ada satu kalimatnya pun yang kucerna. Tumbal iblis keji? Mimpi aneh apa lagi? Tidak
masuk akal! Mungkin Yuki masih syok bertemu denganku setelah seharian lebih tersesat
di hutan mengerikan ini. Aku menjejarkan langkahku dengannya tanpa bicara. Aku
sudah cukup bahagia, melihatnya selamat dan baik-baik saja. Takjub membayangkan
perjuangannya untuk bertahan. Banyak sekali yang ingin kutanyakan.
“Dengar,
Kenzi-san, setelah ini, pokoknya
maafkan aku. Kamu tahu, seharusnya aku menerima kenyataan bahwa rahasia semesta
terlalu menyakitkan untuk diketahui. Para iblis keji, penghuni Hutan ‘sialan’
ini sudah menyantap jiwa ayahku. Aku melihat mereka menghisapnya dengan nikmat
tanpa sisa. Menjijikan. Seharusnya aku
bersyukur, jasad ayahku masih ditemukan utuh. Dan, cukuplah aku yang bodoh
dengan kemalanganku. Tapi, melihat kamu ada di sini, sepertinya aku akan tenang
dan cahaya bulan bisa segera mengambilku. Dan aku bebas dari neraka dunia ini. Giliranku.
Biarkan aku menolongmu...” Yuki meracau panjang dengan masih setengah berbisik.
Tak hanya itu, aku menangkap nada kesedihan yang berusaha ditahannya. Lagi-lagi,
aku juga tak mampu memahami tiap kicauannya.
Ia
menghentikan langkahnya dan meminta aku merapatkan diri ke belakang
punggungnya. Yuki menempelkan telunjuk kanannya di bibir mungilnya. Kami berdua
mengendap-endap seperti dua agen mata-mata yang akan menyergap gembong Yakuza. “Lihatlah sendiri,” perintahnya.
Oke,
kurasa Aokigahara seketika berubah menjadi penjelmaan neraka. Hutan hijau nan
asri itu seolah musnah. Kulihat tubuh iblis-iblis yang masih seukuran manusia, tapi
ototnya lebih besar ketimbang binaragawan. Kulitnya keras dan agak bersisik,
juga terasa kasar meski tidak menyentuhnya. Sekujur tubuh serta bayangannya memancarkan
merahnya bara api dari jauh. Percaya atau tidak, mereka memiliki tiga tanduk
berujung runcing. Wajahnya pun seperti habis terkena cairan biru spiritus. Setengah meleleh, setengah tidak. Aku
tak sanggup mendeskripsikannya lebih jauh. Bau busuk mereka berhasil membuat
perutku mual.
“Kenapa
aku bisa melihat semua ini?” tanyaku sangat pelan seakan bertanya kepada diri
sendiri.
“Mereka
membuka koneksi batin dengan manusia yang merasa putus asa, ketakutan, depresi,
dan sebagainya.
“Ragamu
masih di sana. Kamu sekarang dalam keadaan pingsan. Dan ruhmu harus cepat
mengambil alih tubuh itu. Sebelum mereka menyantap jasadmu. Kalau sampai
terjadi, maka kamu akan... Aku pasti menyalahkan diriku dan menyesalkannya.
Makanya, kumohon setelah kamu sadar, larilah dan jangan menengok ke belakang apapun
yang terjadi. Ikuti cahaya bulan, dan aku lekas menuntunmu keluar.”
Bisikan
Yuki berhembus seraya
menyatu dengan angin, lalu menyusup rongga-rongga telingaku. Sedangkan, aku terpaku
memandang tubuhku yang tak bergerak. “Bagaimana denganmu?” tanyaku was-was.
“Aku
akan selamat apabila kamu melakukan semua yang kukatakan.”
“Dan
kalau aku melanggar?”
“Kita
berdua lenyap. Atau bergabung dengan mereka.”
Kerongkonganku
tercekat. Butuh beberapa saat agar tidak salah membulatkan keputusan. Yuki
tiba-tiba tersenyum. Sudah lama aku menunggu bibir mungilnya memoles senyum
tulus. Lalu, kurasakan bibir sedingin es itu mengecup bibirku yang kaku.
Setelah itu, ia berucap, “Kamu adalah sahabat terbaikku. Ingatlah aku, ingatlah
kita. Oke?”
Aku
mengangguk.
“Kalau
sadar, larilah sekencang angin. Jangan menengok ke belakang apapun yang
terjadi. Janji?”
Pilihanku
hanya satu agar kami selamat, “Janji.”
***
Yuki
merusak pesta para iblis keji. Mereka sangat murka hingga mengacuhkan raga
manusia yang akan menjadi hidangan pencuci mulut malam ini. Kenzi langsung
mengambil kesempatan emas tersebut.
Ruhnya
melesat menubruk tubuhnya, dan jantungnya pun berdetak cepat. Kedua matanya
terbuka lebar. Kakinya siap berlari. Entah dorongan apa yang membuatnya mampu berlari
membabi buta. Ia sempat menyaksikan, mendengar teriakan, sekelebat bayangan
Yuki meronta. Pisau api yang menyala-nyala menusuk gadis itu. Di belakangnya, sebagian
iblis lain mengejar tawanan manusianya yang kabur. Namun, cahaya bulan seakan memudahkan Kenzi
menemukan jalan keluar. Laki-laki itu memenuhi janjinya. Ia berlari dan tidak lagi
menengok ke belakang.
Ia
tidak peduli sudah sejauh apa berlari. Hutan bunuh diri itu bahkan tidak terlalu
kelihatan lagi. Kenzi diam, lalu duduk meluruskan kedua kakinya di tengah jalan
raya besar. Sang fajar mungkin hampir tiba. Ia menunggu Yuki. Kenzi tahu
sahabatnya itu benci kebohongan.
Cahaya
bulan turun dan mengangkat sesosok makhluk dari hutan terkutuk itu. Senyuman
tulus yang hanya dimiliki sahabatnya dapat dikenali mudah.
“Jiwaku
bebas. Kita berdua selamat. Tetapi, kita harus terpisah sementara. Percayalah,
aku selalu dihatimu. Berjanjilah untuk tidak menyia-nyiakan hidupmu, Kenzi-san. Benda inilah kunci kebodohanku
supaya bisa menguak rahasia semesta. Hmm, setelah itu, kirim benda ini kepada
ibuku, oke? Arigatou!”
Sayup-sayup
suara Yuki makin mengecil, lalu menghilang. Tak lama, Kenzi bangkit dan mendapati
sebelah tangannya menggenggam sebotol obat racun serangga yang telah kosong.
(TAMAT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar