Senin, 19 Januari 2015

Cerpen


    
   TEROR                            
            Setelah tiga tahun terkurung bersama darah yang mengering. Berada diantara lipatan-lipatan kertas doa lusuh berdebu. Tergeletak dan terinjak barang bekas lain yang cacat. Sesak dikekang empat sudut dinding sempit dengan cat mengelupas. Lampu haus cahaya juga pecahan keramik dari lantai yang menua. Seorang penyelamat membuka gembok kecil itu. Sosoknya yang terlalu penasaran memutar kunci tanpa takut dan ragu. Kunci tembaga agak berkarat. Itulah alat kebebasan jiwaku.
Anda bodoh, tapi terima kasih.
Sekarang waktu pembalasan dimulai. Jika kalian memang benci padaku, menyakiti hingga mengusirku. Demikian pula akan  kulakukan. Aku hanya tinggal menyamar pada apa yang kau selalu bawa, tuan penyelamat. Bangunlah. Simpanlah buku ini bersamamu. Karena mulai detik ini kita adalah teman.
***
“Kepada semua anak-anak murid baru SMA Harapan Bangsa harap cepat baris di lapangan berdasarkan urutan kelas masing-masing. Sekali lagi, kepada semua murid baru cepat baris di lapangan berdasarkan kelasnya masing-masing karena upacara pembukaan Masa Orientasi Siswa akan segera dimulai! Jangan lupa juga pakai atribut wajibnya! Terima kasih.”
Masa-masa berat sebagai junior kembali hadir. Rambut cepol tiga, tanda pengenal berbentuk roket angkasa warna ungu, ikat pinggang tali rafia merah putih, serta seragam putih-biru. Suara pengumuman ketua OSIS dari podium lapangan tak digubris. Tara masih duduk termangu di kelas barunya sendiri. Lalu, mengeluarkan buku catatan kecil hijaunya. Mulai menulis kalimat penyemangat diri pagi ini. ‘Ganbatte kudasai Tara!’
Matahari enggan bersahabat pagi ini. Sorotannya terlalu tajam mendominasi langit jernih. Pancaran panasnya mungkin bisa dipakai memasak telur setengah matang. Ratusan anak murid yang berdiri selama empat puluh menit mulai tidak kuat menahan lelah.
Tara berdiri di barisan paling belakang sibuk mengamati sekelilingnya. Anak-anak baru itu tidak satu pun yang mendengarkan. Mereka mengobrol, bercanda, menekuri layar handphone, bahkan memainkan kerikil di bawah injakan sepatu secara sembunyi-sembunyi. Sementara para pengurus MOS berjalan mondar-mandir dengan mata mengawasi. Menepuk agak keras bahu siswa yang ketahuan berisik. Otot-otot di wajah pengurus sengaja dibuat sesuai dengan perannya. Ada yang serius dan kaku, galak dan dingin, serta baik dan ramah.
Ramainya tepukan tangan peserta MOS membuyarkan lamunan Tara. Bapak Hendri kepala kesiswaan si pembina upacara akhirnya menyelesaikan kalimat penutup pidato lima belas menit itu. Sayangnya, harapan untuk segera  duduk di kelas mendadak pupus. Suasana turut hening. Saat seorang laki-laki tambun, rambut tipis, kacamata bulat, kemeja dan celana panjang cokelat dengan tongkat hitam menggeser pak Hendri. Kemudian suaranya yang berat dan dalam pelan-pelan terdengar.
Entah... Kulit Tara menangkap sesuatu yang janggal. Wajahnya seketika memucat. Rasa dingin tiba-tiba menyela ke setiap helai rambutnya. Detak jantung memompa lebih cepat membuatnya menggigil. Tara mengerti semua pertanda yang terjadi. Nyaris ia berteriak histeris, kalau saja...
“Psst.. psst..Itu kepala sekolah kita. Namanya Pak Goro. Tenang, paling-paling dia cuma ngomong lima menitan,” bisik perempuan di barisan sebelah kanan Tara. “Ngomong-ngomong, kenalin gue Ingga. Anak kelas sebelah. Lantai dua juga. Nama lo siapa? Eh, lo sakit ya? Mau gue anter ke UKS?” lanjutnya.
“Tara. Aku nggak apa-apa. Ehm, thanks.” Suatu keberuntungan ketika perhatian dapat teralihkan. Fokus yang terpecah perlahan mengendalikan batin Tara. Mengembalikan debaran jantungnya ke kondisi semula. Tapi, ia terus merasakan hawa dingin. Warna aura itu. Oh, sial.
Selesai upacara dan pengarahan kakak senior, seluruh murid baru langsung buru-buru pulang. Menyisakan Tara yang memilih berkeliling gedung sendirian. Ia ingin menggali sumber aura itu. Lantai tiga dan dua hasilnya ternyata nihil. Kemudian, menuruni tangga dengan setengah berjinjit. Berusaha menghindari panitia MOS yang juga pengurus OSIS.
Teriakan begitu nyaring datang dari arah laboratorium kimia lantai satu. Beberapa guru dan pengurus OSIS segera menghentikan rapat dan menuju ke asal suara. Mereka sontak terkejut saat Clara menangis histeris di mulut pintu lab. “Mereka berlima... Melukai tangan dan wajah... Kaca.. Darah di dalam.. Cepat tolong..” ujarnya keras sambil terbata. “An..anak baru itu.. Sekarat.”
Dari kejauhan, Tara ikut mendengar samar-samar. Ia pun mencatatnya. Lalu segera pergi.
***
“Duh, gue baru dapet 13 tanda tangan nih. Lo berapa Ra?”
Mata Ingga membelalak. Belum ada coretan sama sekali di buku tanda tangan Tara. “Ra, lo ngapain aja dari tiga jam lalu? Tuh, lihat! Anak-anak lain udah pada hampir setengahnya. Sekarang mereka lagi ngejar-ngejar kak Sam ketos kita. Inget Ra tiga puluh sampe besok atau bakalan ditindas. Cari amanlah!”
Aman? Kejadian kemarin juga data sementara yang diperoleh semalam membuktikan situasi sekolah ini bahaya. Tara yakin betul ada yang mengincar mereka. Firasatnya sejauh ini tidak meleset. “Ingga, kamu harus bantu aku. Ada yang mau aku ceritain. Pulang sekolah, kamu ke kelasku ya.”
“Eh.. Tara! Lo mau kemana? TARA!! Yee.. Dasar anak aneh! Pergi kayak orang kesetanan gitu. Mana main ninggalin tugas. Nggak tau deh nasib lo nanti..”
Pita merah yang saling terikat di kedua kursi, membentang panjang, menandakan daerah steril. Di sepanjang lorong belakang sekolah termasuk pendopo dan juga kantin, gudang, laboratorium. Anak baru dilarang memasuki tempat-tempat tersebut sampai masa orientasi selesai. Tara tidak peduli. Lorong belakang sekolah, kantin, sudah ia lewati dengan mulus. Warna aura yang dilihatnya kian pekat. Ia duduk bersila di pendopo, sedikit menggigil. Mencatat lagi.
Langkahnya berhenti di ujung lorong belakang sekolah. Tampak dari luar, ruangan sempit itu jelas jarang digunakan. Seperti.. tempat penyimpanan atau mungkin gudang. Pintunya tidak terkunci. Ini kesempatan! Selagi pengurus OSIS sibuk dimintai tanda tangan jadi tidak ada yang jaga.
Bunyi decitan pintu mengiris keberanian sedikit demi sedikit. Aroma pengap juga debu tebal menyambut kedatangan Tara. Tikus-tikus kecil berhamburan mencari persembunyian. Lewat pencahayaan seadanya, tergambar empat sudut dinding dengan cat terkelupas. Banyak bangku juga meja kelas yang rusak. Patahan kaki-kakinya berserakan. Langit-langit ruangan dipadati sarang laba-laba. Sebagian besar keramik lantainya pecah.
Hanya berdiri mematung di titik tengah ruangan. Tangannya ingin mengeluarkan pena dan buku catatan kecil hijau dari saku. Tapi tak bisa digerakkan. Sepasang kakinya bagai dipaku. Rongga-rongga telinganya dihantam teriakan, tangisan, bergantian. Suara perempuan. Jantungnya ingin melompat. Sekujur badannya kedinginan. Dadanya mendadak sesak. Warna abu-abu itu menyilaukan. Tara mencoba mundur selangkah. Tanpa sengaja kaki kirinya menginjak benda kecil. Setelah ia punguti, serentetan pertanyaan mencambuk pikiran.
“Kunci? Gembok? Apa maksudnya?”  
“Hani melarikan diri... Ruhnya sedang menyamar dan mengintai mereka.. Tak segan-segan lagi mencabut paksa nyawa mereka yang menindas kaum lemah. Saatnya membalaskan kebencian yang tertunda. Jangan terkecoh tipuan. Bakar seluruh lembaran jiwanya sebelum terlambat..”
Setelah beberapa saat, otak Tara kembali bekerja. Tubuhnya bukan lagi kerangka robot. Meski tangannya masih gemetar. Selama ini yang ia tahu, bakat khususnya adalah melihat warna aura. Warisan almarhum kakek. Namun, baru saja Tara sadar bahwa batinnya mendengar aura bicara. Ketika manusia meruntuhkan batas pikiran fana dengan makhluk dunia lain secara alam bawah sadar.
***
            “TARAAAAAA!!! KEMANA AJA?! TADI ADA KESURUPAN MASSAL DI KELAS LO!” ujar Ingga lantang seraya lari tergopoh-gopoh. Nafasnya naik-turun. Air mukanya menegang. Buru-buru ia menarik tangan Tara menuju kelas.
            Mulut Tara membulat ketika matanya menyapu seisi kelas yang kosong berantakan. “Jadi Ra, semua anak kelas lo tiba-tiba aja pada menjerit. Mereka banting-banting kursi-meja. Terus juga mecahin kaca di jendela pojok. Abis itu... mereka pada nyiletin tangan sama wajah pake pecahan kaca Ra.. Ngeri banget parah. Sekarang mereka udah dibawa ke rumah sakit. Untunglah lo keluyuran Ra.. Padahal kepsek kita baru aja kasih kabar gembira kalo ospek kita nggak jadi tiga hari! Besok langsung demo ekskul dan penutupan. Tapi, pasti gara-gara ada yang nggak beres,” jelas Ingga.
            “Dia sudah menyatakan perang.. Kita harus mengusir Hani selamanya...”
            “Hani? Siapa Ra? Perang apa? Udah deh mending kita balik yuk! Murid lain juga pada bubaran.”
            Tara menuliskan lagi peristiwa kedua ini singkat. Lalu memberikan buku catatan kecil hijaunya, “Aku tahu kamu pikir pasti ini gila. Tapi intinya ada teror dari arwah yang mau balas dendam. Kali ini, aku mohon percaya padaku dan.. aku butuh pertolonganmu Ngga. Ehm..Kak Sam dimana?”
            “Gue rasa lagi pada rapat gitu di ruang kepala sekolah. Ra, gue percaya kok sama lo, tapi gue masih nggak ngerti. Apa sih yang terjadi? Cerita sama gue!”
            “Kamu baca catatanku. Semua penyelidikanku, firasatku, ada di situ. Sekarang kita harus cepat bergerak! Kamu juga cari tahu tentang Hani yang mungkin meninggal nggak wajar di sekolah ini. Oke? Bye.”
***
            “KAK SAM! KAK! TUNGGU!”
            “Ada apa? Bukannya semua anak baru harus udah disuruh balik? Kenapa kamu masih berkeliaran di sini?”
            “Kak, apa kakak pernah tahu cerita orang yang meninggal nggak wajar bernama Hani? Mungkin juga salah satu murid di sini,” tanya Tara tanpa basa-basi. “Atau...” Dua benda kecil dikeluarkan dari saku bajunya, “... berhubungan juga dengan ini.”
            Langkah kaki Samuel segera berbalik arah. Tidak jadi menyusul rapat ke ruangan Pak Goro, melainkan menuju perpustakaan.
***
            “Udah diperiksa semua kan? Gimana kondisi kelas di lantai tiga?”
            “Aman, Bob. Gue sama Vina nggak merasa yang aneh-aneh. Kalo lo?”
            “Kita juga. Lantai dua termasuk kelas yang anak-anaknya pada kesurupan tadi siang biasa aja. Ya kan Manda?”
            “Iya Ron. Tapi, si Sam mana sih? Kok dia belum balik-balik ngecek sepanjang belakang sekolah. Gue.. jadi khawatir.”
            “Temen-temen! Gue heran deh sama Pak Goro. Kenapa harus kita berlima yang meriksain seisi gedung sekolahan ini bebas atau nggak dari hantu? Kenapa nggak semua pengurus aja? Udah mana, lihat, jam gue menunjukkan setengah jam lagi tepat tengah malem. Ngantuk nih gue!”
            “Vina... udah deh gerutunya. Abis kita laporan ke Pak Goro kan juga pulang. Sam nih belum ke aula.. Bobby, Roni, kalian berdua nggak cemas apa?”
            Dari arah pintu muncul samar-samar bayangan diikuti bunyi sebuah barang jatuh. Bobby, Roni, Amanda, dan Vina sontak merinding. Pelan-pelan menghampiri asal suara. Mereka serentak mengernyitkan dahi kala mendapati tongkat hitam itu tergeletak tanpa pemiliknya. Ruh tongkat itu bangkit. Langsung menyergap dan menghipnotis mereka. Melakukan bunuh diri.
***
            Tara dan Ingga masih berkutat mencari benda sebagai satu-satunya jalan keluar. “Ngapain kalian berdua di gudang larut malam begini?”
            “Kak Sam.. Ki..ta berdua nyari buku doa yang.. diberitakan halaman koran sekolah. Tiga tahun lalu itu...Ta-tapi belum.. ketemu,” jawab Ingga terbata.
            “Sebentar.. Kak Sam sendiri ngapain di sini?” sela Tara.
            “Pak Goro menyuruh pengurus inti supaya memeriksa seluruh ruangan di sekolah. Sudahlah itu bukan urusan kalian. Lebih baik kalian pulang. Lagipula Tara, kunci dan gembok juga ruh Hani itu belum tentu dalang kasus yang terjadi.”
            “Nggak salah lagi. Dia mengincar pengurus MOS. Murid baru cuma umpan belaka...” Kemudian, buru-buru Tara berlari sambil menarik tangan Samuel. Ingga menyusul di belakangnya. “Dimana yang lainnya?” tanya Tara.
            Saat mereka melewati ruang kepala sekolah. Tiba-tiba Tara merasakan dadanya seperti diremas-remas. Ia pun jatuh terduduk. “Ra, lo kenapa?”
            “Psst.. Ingga diam. Ehm, kalian dengar sesuatu? Suara rintihan seseorang dari sana.” Tara berusaha bangun dibantu Samuel dan Ingga. Mereka bertiga masuk ke kantor kepala sekolah. Kondisi gelap total. Tak lama, mereka menemukan Pak Goro terkapar. Mencekik lehernya dengan satu tangan. “Cepat keluarkan Pak Goro dan cari bala bantuan,” seru Tara seraya mengambil sesuatu dari pelukan bapak Kepala Sekolah. Buku doa itu.
***
            Bau anyir menusuk hidung Tara. Padahal baru beberapa langkah ia masuk. Dalam penglihatannya, aula itu benar-benar diselimuti aura abu-abu. Sunyi. Yang terdengar hanya ritme nafasnya sendiri.
            “Mau coba-coba merusak pestaku ya, tamu tak diundang?”
            Bola mata Tara menangkap sosok makhluk perempuan kurus, kedua pipi cekung, rambut bahu tipis hingga terlihat kulit kepalanya yang terkelupas. Di belakangnya, ada Bobby dan Vina juga Roni dan Amanda saling menyileti tangan serta wajah mereka dengan kaca. Bercak darah segar mengalir di lantai. “Hentikan Hani.. Tolong..” Mendadak kaki Tara lemas. Tubuhnya jatuh tersungkur. Buku doa, gembok beserta kunci tembaga itu terlepas dari genggamannya.
            “Oh. Kau tahu.. Kakak kelasku dulu mengerjaiku habis-habisan saat MOS sampai jasadku teronggok di gudang seperti bangkai. Setelah itu, arwahku terjebak dalam buku sialan itu! Kau tidak bisa memasukanku lagi ke dalam penjara itu! Kau bukan pendeta! Giliran kalian menikmati pahitnya kematian!

Bakar seluruh lembaran jiwanya. 

“Maafkan aku Hani..” 

Dengan sisa tenaga, Tara menyalakan api dari sebatang korek. Melemparkannya ke arah tiga benda keramat itu. Langsung terdengar keras jeritan. Dia berulang kali meronta, menangis, tertawa, memaki, marah sampai akhirnya diam. 

Lenyap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MY L.O.V.E (PART 19) #Untold Story

SEBUAH PENGAKUAN (III) Diana menatap Micky, tatapan cowok itu begitu kelabu. Tidak ada sinar yang terpancar di sana. ...