TEROR

Anda
bodoh, tapi terima kasih.
Sekarang
waktu pembalasan dimulai. Jika kalian memang benci padaku, menyakiti hingga
mengusirku. Demikian pula akan kulakukan. Aku hanya tinggal menyamar pada apa
yang kau selalu bawa, tuan penyelamat. Bangunlah. Simpanlah buku ini bersamamu.
Karena mulai detik ini kita adalah teman.
***
“Kepada
semua anak-anak murid baru SMA Harapan Bangsa harap cepat baris di lapangan
berdasarkan urutan kelas masing-masing. Sekali lagi, kepada semua murid baru cepat
baris di lapangan berdasarkan kelasnya masing-masing karena upacara pembukaan
Masa Orientasi Siswa akan segera dimulai! Jangan lupa juga pakai atribut
wajibnya! Terima kasih.”
Masa-masa
berat sebagai junior kembali hadir. Rambut cepol tiga, tanda pengenal berbentuk
roket angkasa warna ungu, ikat pinggang tali rafia merah putih, serta seragam
putih-biru. Suara pengumuman ketua OSIS dari podium lapangan tak digubris. Tara
masih duduk termangu di kelas barunya sendiri. Lalu, mengeluarkan buku catatan kecil
hijaunya. Mulai menulis kalimat penyemangat diri pagi ini. ‘Ganbatte kudasai Tara!’
Matahari
enggan bersahabat pagi ini. Sorotannya terlalu tajam mendominasi langit jernih.
Pancaran panasnya mungkin bisa dipakai memasak telur setengah matang. Ratusan
anak murid yang berdiri selama empat puluh menit mulai tidak kuat menahan
lelah.
Tara
berdiri di barisan paling belakang sibuk mengamati sekelilingnya. Anak-anak
baru itu tidak satu pun yang mendengarkan. Mereka mengobrol, bercanda, menekuri
layar handphone, bahkan memainkan
kerikil di bawah injakan sepatu secara sembunyi-sembunyi. Sementara para
pengurus MOS berjalan mondar-mandir dengan mata mengawasi. Menepuk agak keras
bahu siswa yang ketahuan berisik. Otot-otot di wajah pengurus sengaja dibuat sesuai
dengan perannya. Ada yang serius dan kaku, galak dan dingin, serta baik dan
ramah.
Ramainya
tepukan tangan peserta MOS membuyarkan lamunan Tara. Bapak Hendri kepala kesiswaan
si pembina upacara akhirnya menyelesaikan kalimat penutup pidato lima belas
menit itu. Sayangnya, harapan untuk segera duduk di kelas mendadak pupus. Suasana turut
hening. Saat seorang laki-laki tambun, rambut tipis, kacamata bulat, kemeja dan
celana panjang cokelat dengan tongkat hitam menggeser pak Hendri. Kemudian
suaranya yang berat dan dalam pelan-pelan terdengar.
Entah...
Kulit Tara menangkap sesuatu yang janggal. Wajahnya seketika memucat. Rasa
dingin tiba-tiba menyela ke setiap helai rambutnya. Detak jantung memompa lebih
cepat membuatnya menggigil. Tara mengerti semua pertanda yang terjadi. Nyaris
ia berteriak histeris, kalau saja...
“Psst..
psst..Itu kepala sekolah kita. Namanya Pak Goro. Tenang, paling-paling dia cuma
ngomong lima menitan,” bisik perempuan di barisan sebelah kanan Tara.
“Ngomong-ngomong, kenalin gue Ingga. Anak kelas sebelah. Lantai dua juga. Nama
lo siapa? Eh, lo sakit ya? Mau gue anter ke UKS?” lanjutnya.
“Tara.
Aku nggak apa-apa. Ehm, thanks.” Suatu
keberuntungan ketika perhatian dapat teralihkan. Fokus yang terpecah perlahan
mengendalikan batin Tara. Mengembalikan debaran jantungnya ke kondisi semula.
Tapi, ia terus merasakan hawa dingin. Warna aura itu. Oh, sial.
Selesai
upacara dan pengarahan kakak senior, seluruh murid baru langsung buru-buru
pulang. Menyisakan Tara yang memilih berkeliling gedung sendirian. Ia ingin
menggali sumber aura itu. Lantai tiga dan dua hasilnya ternyata nihil.
Kemudian, menuruni tangga dengan setengah berjinjit. Berusaha menghindari panitia
MOS yang juga pengurus OSIS.
Teriakan
begitu nyaring datang dari arah laboratorium kimia lantai satu. Beberapa guru
dan pengurus OSIS segera menghentikan rapat dan menuju ke asal suara. Mereka
sontak terkejut saat Clara menangis histeris di mulut pintu lab. “Mereka
berlima... Melukai tangan dan wajah... Kaca.. Darah di dalam.. Cepat tolong..”
ujarnya keras sambil terbata. “An..anak baru itu.. Sekarat.”
Dari
kejauhan, Tara ikut mendengar samar-samar. Ia pun mencatatnya. Lalu segera pergi.
***
“Duh,
gue baru dapet 13 tanda tangan nih. Lo berapa Ra?”
Mata
Ingga membelalak. Belum ada coretan sama sekali di buku tanda tangan Tara. “Ra,
lo ngapain aja dari tiga jam lalu? Tuh, lihat! Anak-anak lain udah pada hampir
setengahnya. Sekarang mereka lagi ngejar-ngejar kak Sam ketos kita. Inget Ra tiga
puluh sampe besok atau bakalan ditindas. Cari amanlah!”
Aman?
Kejadian kemarin juga data sementara yang diperoleh semalam membuktikan situasi
sekolah ini bahaya. Tara yakin betul ada yang mengincar mereka. Firasatnya
sejauh ini tidak meleset. “Ingga, kamu harus bantu aku. Ada yang mau aku
ceritain. Pulang sekolah, kamu ke kelasku ya.”
“Eh..
Tara! Lo mau kemana? TARA!! Yee.. Dasar anak aneh! Pergi kayak orang kesetanan
gitu. Mana main ninggalin tugas. Nggak tau deh nasib lo nanti..”
Pita
merah yang saling terikat di kedua kursi, membentang panjang, menandakan daerah
steril. Di sepanjang lorong belakang sekolah termasuk pendopo dan juga kantin,
gudang, laboratorium. Anak baru dilarang memasuki tempat-tempat tersebut sampai
masa orientasi selesai. Tara tidak peduli. Lorong belakang sekolah, kantin,
sudah ia lewati dengan mulus. Warna aura yang dilihatnya kian pekat. Ia duduk
bersila di pendopo, sedikit menggigil. Mencatat lagi.
Langkahnya
berhenti di ujung lorong belakang sekolah. Tampak dari luar, ruangan sempit itu
jelas jarang digunakan. Seperti.. tempat penyimpanan atau mungkin gudang. Pintunya
tidak terkunci. Ini kesempatan! Selagi pengurus OSIS sibuk dimintai tanda tangan
jadi tidak ada yang jaga.
Bunyi decitan
pintu mengiris keberanian sedikit demi sedikit. Aroma pengap juga debu tebal menyambut
kedatangan Tara. Tikus-tikus kecil berhamburan mencari persembunyian. Lewat
pencahayaan seadanya, tergambar empat sudut dinding dengan cat terkelupas.
Banyak bangku juga meja kelas yang rusak. Patahan kaki-kakinya berserakan.
Langit-langit ruangan dipadati sarang laba-laba. Sebagian besar keramik
lantainya pecah.
Hanya berdiri
mematung di titik tengah ruangan. Tangannya ingin mengeluarkan pena dan buku
catatan kecil hijau dari saku. Tapi tak bisa digerakkan. Sepasang kakinya bagai
dipaku. Rongga-rongga telinganya dihantam teriakan, tangisan, bergantian. Suara
perempuan. Jantungnya ingin melompat. Sekujur badannya kedinginan. Dadanya
mendadak sesak. Warna abu-abu itu menyilaukan. Tara mencoba mundur selangkah.
Tanpa sengaja kaki kirinya menginjak benda kecil. Setelah ia punguti,
serentetan pertanyaan mencambuk pikiran.
“Kunci?
Gembok? Apa maksudnya?”
“Hani
melarikan diri... Ruhnya sedang menyamar dan mengintai mereka.. Tak segan-segan
lagi mencabut paksa nyawa mereka yang menindas kaum lemah. Saatnya membalaskan
kebencian yang tertunda. Jangan terkecoh tipuan. Bakar seluruh lembaran jiwanya
sebelum terlambat..”
Setelah beberapa
saat, otak Tara kembali bekerja. Tubuhnya bukan lagi kerangka robot. Meski
tangannya masih gemetar. Selama ini yang ia tahu, bakat khususnya adalah
melihat warna aura. Warisan almarhum kakek. Namun, baru saja Tara sadar bahwa batinnya
mendengar aura bicara. Ketika manusia meruntuhkan batas pikiran fana dengan
makhluk dunia lain secara alam bawah sadar.
***
“TARAAAAAA!!! KEMANA AJA?! TADI ADA
KESURUPAN MASSAL DI KELAS LO!” ujar Ingga lantang seraya lari tergopoh-gopoh.
Nafasnya naik-turun. Air mukanya menegang. Buru-buru ia menarik tangan Tara
menuju kelas.
Mulut Tara membulat ketika matanya
menyapu seisi kelas yang kosong berantakan. “Jadi Ra, semua anak kelas lo
tiba-tiba aja pada menjerit. Mereka banting-banting kursi-meja. Terus juga
mecahin kaca di jendela pojok. Abis itu... mereka pada nyiletin tangan sama
wajah pake pecahan kaca Ra.. Ngeri banget parah. Sekarang mereka udah dibawa ke
rumah sakit. Untunglah lo keluyuran Ra.. Padahal kepsek kita baru aja kasih
kabar gembira kalo ospek kita nggak jadi tiga hari! Besok langsung demo ekskul
dan penutupan. Tapi, pasti gara-gara ada yang nggak beres,” jelas Ingga.
“Dia sudah menyatakan perang.. Kita
harus mengusir Hani selamanya...”
“Hani? Siapa Ra? Perang apa? Udah
deh mending kita balik yuk! Murid lain juga pada bubaran.”
Tara menuliskan lagi peristiwa kedua
ini singkat. Lalu memberikan buku catatan kecil hijaunya, “Aku tahu kamu pikir
pasti ini gila. Tapi intinya ada teror dari arwah yang mau balas dendam. Kali
ini, aku mohon percaya padaku dan.. aku butuh pertolonganmu Ngga. Ehm..Kak Sam
dimana?”
“Gue rasa lagi pada rapat gitu di
ruang kepala sekolah. Ra, gue percaya kok sama lo, tapi gue masih nggak ngerti.
Apa sih yang terjadi? Cerita sama gue!”
“Kamu baca catatanku. Semua
penyelidikanku, firasatku, ada di situ. Sekarang kita harus cepat bergerak!
Kamu juga cari tahu tentang Hani yang mungkin meninggal nggak wajar di sekolah
ini. Oke? Bye.”
***
“KAK SAM! KAK! TUNGGU!”
“Ada apa? Bukannya semua anak baru
harus udah disuruh balik? Kenapa kamu masih berkeliaran di sini?”
“Kak, apa kakak pernah tahu cerita
orang yang meninggal nggak wajar bernama Hani? Mungkin juga salah satu murid di
sini,” tanya Tara tanpa basa-basi. “Atau...” Dua benda kecil dikeluarkan dari
saku bajunya, “... berhubungan juga dengan ini.”
Langkah kaki Samuel segera berbalik
arah. Tidak jadi menyusul rapat ke ruangan Pak Goro, melainkan menuju
perpustakaan.
***
“Udah diperiksa semua kan? Gimana
kondisi kelas di lantai tiga?”
“Aman, Bob. Gue sama Vina nggak
merasa yang aneh-aneh. Kalo lo?”
“Kita juga. Lantai dua termasuk
kelas yang anak-anaknya pada kesurupan tadi siang biasa aja. Ya kan Manda?”
“Iya Ron. Tapi, si Sam mana sih? Kok
dia belum balik-balik ngecek sepanjang belakang sekolah. Gue.. jadi khawatir.”
“Temen-temen! Gue heran deh sama Pak
Goro. Kenapa harus kita berlima yang meriksain seisi gedung sekolahan ini bebas
atau nggak dari hantu? Kenapa nggak semua pengurus aja? Udah mana, lihat, jam
gue menunjukkan setengah jam lagi tepat tengah malem. Ngantuk nih gue!”
“Vina... udah deh gerutunya. Abis
kita laporan ke Pak Goro kan juga pulang. Sam nih belum ke aula.. Bobby, Roni,
kalian berdua nggak cemas apa?”
Dari arah pintu muncul samar-samar
bayangan diikuti bunyi sebuah barang jatuh. Bobby, Roni, Amanda, dan Vina sontak
merinding. Pelan-pelan menghampiri asal suara. Mereka serentak mengernyitkan
dahi kala mendapati tongkat hitam itu tergeletak tanpa pemiliknya. Ruh tongkat
itu bangkit. Langsung menyergap dan menghipnotis mereka. Melakukan bunuh diri.
***
Tara dan Ingga masih berkutat
mencari benda sebagai satu-satunya jalan keluar. “Ngapain kalian berdua di
gudang larut malam begini?”
“Kak Sam.. Ki..ta berdua nyari buku
doa yang.. diberitakan halaman koran sekolah. Tiga tahun lalu itu...Ta-tapi
belum.. ketemu,” jawab Ingga terbata.
“Sebentar.. Kak Sam sendiri ngapain
di sini?” sela Tara.
“Pak Goro menyuruh pengurus inti supaya
memeriksa seluruh ruangan di sekolah. Sudahlah itu bukan urusan kalian. Lebih
baik kalian pulang. Lagipula Tara, kunci dan gembok juga ruh Hani itu belum
tentu dalang kasus yang terjadi.”
“Nggak salah lagi. Dia mengincar
pengurus MOS. Murid baru cuma umpan belaka...” Kemudian, buru-buru Tara berlari
sambil menarik tangan Samuel. Ingga menyusul di belakangnya. “Dimana yang
lainnya?” tanya Tara.
Saat mereka melewati ruang kepala
sekolah. Tiba-tiba Tara merasakan dadanya seperti diremas-remas. Ia pun jatuh
terduduk. “Ra, lo kenapa?”
“Psst.. Ingga diam. Ehm, kalian
dengar sesuatu? Suara rintihan seseorang dari sana.” Tara berusaha bangun
dibantu Samuel dan Ingga. Mereka bertiga masuk ke kantor kepala sekolah.
Kondisi gelap total. Tak lama, mereka menemukan Pak Goro terkapar. Mencekik
lehernya dengan satu tangan. “Cepat keluarkan Pak Goro dan cari bala bantuan,”
seru Tara seraya mengambil sesuatu dari pelukan bapak Kepala Sekolah. Buku doa
itu.
***
Bau anyir menusuk hidung Tara.
Padahal baru beberapa langkah ia masuk. Dalam penglihatannya, aula itu
benar-benar diselimuti aura abu-abu. Sunyi. Yang terdengar hanya ritme nafasnya
sendiri.
“Mau coba-coba merusak pestaku ya,
tamu tak diundang?”
Bola mata Tara menangkap sosok
makhluk perempuan kurus, kedua pipi cekung, rambut bahu tipis hingga terlihat
kulit kepalanya yang terkelupas. Di belakangnya, ada Bobby dan Vina juga Roni
dan Amanda saling menyileti tangan serta wajah mereka dengan kaca. Bercak darah
segar mengalir di lantai. “Hentikan Hani.. Tolong..” Mendadak kaki Tara lemas. Tubuhnya
jatuh tersungkur. Buku doa, gembok beserta kunci tembaga itu terlepas dari
genggamannya.
“Oh. Kau tahu.. Kakak kelasku dulu mengerjaiku
habis-habisan saat MOS sampai jasadku teronggok di gudang seperti bangkai.
Setelah itu, arwahku terjebak dalam buku sialan itu! Kau tidak bisa memasukanku
lagi ke dalam penjara itu! Kau bukan pendeta! Giliran kalian menikmati pahitnya
kematian!
Bakar seluruh lembaran jiwanya.
“Maafkan aku Hani..”
Dengan
sisa tenaga, Tara menyalakan api dari sebatang korek. Melemparkannya ke arah
tiga benda keramat itu. Langsung terdengar keras jeritan. Dia berulang kali meronta,
menangis, tertawa, memaki, marah sampai akhirnya diam.
Lenyap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar