Minggu, 25 Januari 2015

Cerpen



THE LAST JOURNAL (PART 2)


Semoga saja dia tidak melihat kekacauan di pipiku yang terlanjur merona serta helaan nafas sesekali menderu.
 
“Maaf. Aku tak bermaksud untuk…” Baru kali ini, dia yang sangat percaya diri, berani mengambil keputusan tiba-tiba terlihat gugup.
Kalimat barusan sengaja terpotong atau bagaimana? Apakah tidak ada alasan yang menurutnya ‘pas’ untuk menyelesaikan itu? Rasa penasaranku mengganda.
 “Ini buatmu..” barang tumpuan itu kini berpindah tempat. Tertuju ke sasaran yang tepat. ‘Sesuatu’ berbentuk persegi panjang, ukurannya sedang, dan terbungkus kertas cokelat biasa.
“Ku mohon, terimalah. Anggap saja aku berbaik hati memberikan sebuah hadiah untukmu.” Kekuatan apa yang merasukiku hingga beranggapan seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Apa ini?” Sesaat dia mengernyitkan dahi. Lalu, tangan berlapis kulit sawo matang mulai tergerak untuk memangku hadiah sederhana namun berarti untukku. Tak hanya lega, desiran bahagia pun ikut menari-nari.
“Buka aja!” sahutku seantusias mungkin.
Cukup dua kali suara sobekan itu memasuki ronga-rongga telinga kami. Terpancar darinya gerakan penuh kehati-hatian. Hadiah istimewa itu akhirnya menelanjangkan diri, menampakkan rupa asli tanpa hiasan sana-sini. Sementara, bungkusan cokelat dibiarkannya tersisih.
Aku mencoba melihat sekilas kedalaman bola-bola mata indah kecokelatannya. Tak dapat ku bendung tuk akui, dia adalah salah satu hasil ciptaan Tuhan yang sempurna…
Giliranku diam seribu bahasa.
“Terima kasih. Kamu memang paling baik dan mengerti.”
Masih terhipnotis saat dia menatapku ramah. Bersahabat. Apakah jiwa lamanya telah kembali?
“Lukisanmu memang tiada tandingannya dan selalu dapat menghidupkan apapun yang mati, bahkan orang hidup yang tengah mati seperti yang sedang bersamamu ini. Aku masih ingat, pasti kamu melukis hasil foto 5 tahun yang lalu saat kita diam-diam liburan ke Bali dengan gabungan hasil tabungan kita, ya, kan?”
Aku mengangguk. Dia tersenyum, sedikit.
“Sulit sekali mencari orang yang bersedia memotret kita sampai harus berputar-putar selama sejam. Untungnya ada orang bule yang bisa aku kadalin, haha. Namanya…”
“Mister Lee dari New York,”potongku refleks ikut menimpali. “Nama yang aneh untuk seorang turis dari Kota Apel,” komentarku lagi. Kami berdua tertawa untuk pertama kalinya.
Puas dan lepas. 

Aku kembali mendengar ocehannya, “Kita dikira anak kembar, hanya saja kamu lebih pendek lima centi. Lalu, orang tua kita yang sudah melarang habis-habisan harus sampai menyewa detektif untuk mencari kita. Sungguh konyol! Pulangnya, aku lagi-lagi dimarahi…
…tetapi kamu tidak lari. Kamu tetap di sampingku, membelaku dan tidak pernah meninggalkanku apalagi mengkhianatiku.” Tak lama.. Senyumnya terkembang…. lebih tulus –kurasa.

“Foto sepanjang masa berubah menjadi lukisan… ini berharga, kau tahu?”


to be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MY L.O.V.E (PART 19) #Untold Story

SEBUAH PENGAKUAN (III) Diana menatap Micky, tatapan cowok itu begitu kelabu. Tidak ada sinar yang terpancar di sana. ...