THE LAST JOURNAL (PART 2)
Semoga saja dia tidak melihat kekacauan di pipiku
yang terlanjur merona serta helaan nafas sesekali menderu.
“Maaf. Aku tak bermaksud untuk…” Baru kali ini, dia
yang sangat percaya diri, berani mengambil keputusan tiba-tiba terlihat gugup.
Kalimat barusan sengaja terpotong atau bagaimana?
Apakah tidak ada alasan yang menurutnya ‘pas’ untuk menyelesaikan itu? Rasa
penasaranku mengganda.
“Ini
buatmu..” barang tumpuan itu kini berpindah tempat. Tertuju ke sasaran yang
tepat. ‘Sesuatu’ berbentuk persegi panjang, ukurannya sedang, dan terbungkus kertas
cokelat biasa.
“Ku mohon, terimalah. Anggap saja aku berbaik hati
memberikan sebuah hadiah untukmu.” Kekuatan apa yang merasukiku hingga beranggapan
seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Apa ini?” Sesaat dia mengernyitkan dahi. Lalu, tangan
berlapis kulit sawo matang mulai tergerak untuk memangku hadiah sederhana namun
berarti untukku. Tak
hanya lega, desiran bahagia pun ikut
menari-nari.
“Buka aja!” sahutku seantusias mungkin.
Cukup dua kali suara sobekan itu memasuki
ronga-rongga telinga kami. Terpancar darinya gerakan penuh
kehati-hatian. Hadiah
istimewa itu akhirnya menelanjangkan diri, menampakkan rupa asli tanpa hiasan
sana-sini. Sementara, bungkusan cokelat dibiarkannya tersisih.
Aku mencoba melihat sekilas kedalaman bola-bola mata
indah kecokelatannya.
Tak dapat ku bendung tuk akui, dia adalah salah satu hasil ciptaan Tuhan yang
sempurna…
Giliranku diam seribu bahasa.
“Terima kasih. Kamu memang paling baik dan
mengerti.”
Masih terhipnotis saat dia menatapku ramah.
Bersahabat. Apakah jiwa lamanya
telah kembali?
“Lukisanmu memang tiada tandingannya dan selalu
dapat menghidupkan apapun yang mati, bahkan orang hidup yang tengah mati seperti
yang sedang bersamamu ini. Aku masih ingat, pasti kamu melukis hasil foto 5
tahun yang lalu saat kita diam-diam liburan ke Bali dengan gabungan hasil
tabungan kita, ya, kan?”
Aku mengangguk. Dia tersenyum, sedikit.
“Sulit sekali mencari orang yang bersedia memotret
kita sampai harus berputar-putar selama sejam. Untungnya ada orang bule yang
bisa aku kadalin, haha. Namanya…”
“Mister Lee dari New York,”potongku refleks ikut menimpali.
“Nama yang aneh untuk seorang turis dari Kota Apel,” komentarku lagi. Kami
berdua tertawa untuk pertama kalinya.
Puas dan lepas.
Aku kembali mendengar ocehannya, “Kita dikira anak
kembar, hanya saja kamu lebih pendek lima centi.
Lalu, orang tua kita yang sudah melarang habis-habisan harus sampai menyewa
detektif untuk mencari kita. Sungguh konyol! Pulangnya, aku lagi-lagi dimarahi…
…tetapi kamu tidak lari. Kamu tetap di sampingku,
membelaku dan tidak pernah meninggalkanku apalagi mengkhianatiku.” Tak lama..
Senyumnya terkembang…. lebih tulus –kurasa.
“Foto sepanjang masa berubah menjadi lukisan… ini
berharga, kau tahu?”
to be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar