Selasa, 27 Januari 2015

Cerpen




Tema : Cinta Yang Tak Terucap

THE LAST JOURNAL (PART 3-END)
 




“Foto sepanjang masa berubah menjadi lukisan… ini berharga, kau tahu?”

Matanya yang lama terpejam akibat menikmati dan tenggelam bersama kenangan masa lalu, kini terbuka menatapku lekat. Andai, lukisanku sama dengan yang dikatakannya barusan, mengapa aku masih merasa menjadi mayat di sini? Korban dari sihiran makhluk seperti dirinya. Aku kembali takut tidak bisa mengontrol diri. Kalau terlepas, aku bisa membunuh jati diri. Perasaanku larut dalam kalut.
Tiba-tiba ia menggamit sela-sela jariku tuk berdiri. Kini, hanya lukisan yang tersandar sendirian dibangku kami. Saksi bisu. Jujur, aku takut ada yang tak sengaja lewat dan melihat kami berhadapan dengan jarak dua jengkal. Biasanya kami membawa komik sebagai peralihan. Jadi, kalau kami sedang asyik becanda, mengobrol, hingga genit-genitan, lalu ada petugas kebersihan sekolah lewat, kami tinggal bersandiwara melalui lakon “pura-pura baca komik”. Sekarang tanpa peralihan apa-apa, orang lain bisa saja melontarkan opini dengan nada-nada menjijikan. Aku tidak mau hal ‘terburuk’ lagi menimpa kami berdua.
Apa daya? Dia semakin merapatkan diri padaku. Perasaan yang ku benci mulai beraksi. Letupan dalam dada kian kencang. Degup jantung turut pula merangsang. Aku bagai bernafas dalam gersang ketika dia menempelkan bibirnya ke keningku. Tak hiraukan lonceng yang mengerang.
Aku bangun terlalu pagi, bersiap untuk berangkat sekolah juga terlalu dini. Sengaja. Sejak aku resmi berbaikan dengannya, kemarin sepulang sekolah dia memberikan buku jurnalnya kepadaku. Ia ingin aku menjaganya. Katanya, “Kalau kamu mau aku menjawab semua pertanyaan yang ada di kepalamu itu, maka kamu harus membaca lembaran paling akhir. Mengerti?”
Jadi... aku tidak memiliki pilihan, bukan? Hatiku menjerit, sekaranglah saatnya aku harus tahu! Lalu, si tinta merah pun bercerita…
Hai! Haha, pertama-tama aku ingin tertawa dulu ya! Biar bisa menghiburmu sebagai awal permintaan maaf sebab akhir-akhir ini aku pasti membuatmu kesal. Harusnya aku berani berkata langsung dan ambil resiko terburuk, tetapi kali ini aku.. terlalu takut. Aku harus pergi sekarang. Jauh darimu. Aku mau pamit (baiklah sudah ku katakan). Aku tidak bisa memberitahu dimana alamat baruku karena larangan dari ibu. Dia.. kena serangan jantungnya lagi dan tampaknya tambah parah. Kamu tahu kan? Aku berjanji pada ayahku sebelum ia meninggal akan menjaga ibuku dan aku harus memenuhinya. Dia mendengar rumor kacangan brengsek itu, mempercayainya, lalu dia memutuskan untuk.. menjodohkanku agar dapat berpisah darimu. Aku pergi malam nanti. Aku yakin kamu pasti membaca ini, setelah aku pergi, hehe.
 “Richard, sometimes the right path is not the easy one, and we’re in the wrong path now. Failing is better than doing nothing, because we have to at least try to change it. It’s time you listen to your heart. Let’s dry our tears and face our fears! Write your own story with the “right” person to love, okay?”  
NB: Semoga lulus tahun ini dengan nilai terbaik, lalu masuk universitas terbaik!
I’ll always pray for you.
With heart,
Nick.

Nick tidak tahu. Rich sudah menjelma menjadi manusia bodoh. Dia berikrar untuk bertahan di jalannya yang salah. Bodoh! Rich tak pernah sempat mengutarakan apa-apa!
Tuhan tahu. Malaikat juga tahu. Nick takkan pernah kembali. Pesawatnya tak kunjung mendarat di negara bagian. Dia telah tiada pagi ini. Rich takkan pernah tahu hal ini.
Kalau sudah begini, sekali lagi, pilihan tidak akan pernah dia miliki. 

TAMAT.

Minggu, 25 Januari 2015

Cerpen



THE LAST JOURNAL (PART 2)


Semoga saja dia tidak melihat kekacauan di pipiku yang terlanjur merona serta helaan nafas sesekali menderu.
 
“Maaf. Aku tak bermaksud untuk…” Baru kali ini, dia yang sangat percaya diri, berani mengambil keputusan tiba-tiba terlihat gugup.
Kalimat barusan sengaja terpotong atau bagaimana? Apakah tidak ada alasan yang menurutnya ‘pas’ untuk menyelesaikan itu? Rasa penasaranku mengganda.
 “Ini buatmu..” barang tumpuan itu kini berpindah tempat. Tertuju ke sasaran yang tepat. ‘Sesuatu’ berbentuk persegi panjang, ukurannya sedang, dan terbungkus kertas cokelat biasa.
“Ku mohon, terimalah. Anggap saja aku berbaik hati memberikan sebuah hadiah untukmu.” Kekuatan apa yang merasukiku hingga beranggapan seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Apa ini?” Sesaat dia mengernyitkan dahi. Lalu, tangan berlapis kulit sawo matang mulai tergerak untuk memangku hadiah sederhana namun berarti untukku. Tak hanya lega, desiran bahagia pun ikut menari-nari.
“Buka aja!” sahutku seantusias mungkin.
Cukup dua kali suara sobekan itu memasuki ronga-rongga telinga kami. Terpancar darinya gerakan penuh kehati-hatian. Hadiah istimewa itu akhirnya menelanjangkan diri, menampakkan rupa asli tanpa hiasan sana-sini. Sementara, bungkusan cokelat dibiarkannya tersisih.
Aku mencoba melihat sekilas kedalaman bola-bola mata indah kecokelatannya. Tak dapat ku bendung tuk akui, dia adalah salah satu hasil ciptaan Tuhan yang sempurna…
Giliranku diam seribu bahasa.
“Terima kasih. Kamu memang paling baik dan mengerti.”
Masih terhipnotis saat dia menatapku ramah. Bersahabat. Apakah jiwa lamanya telah kembali?
“Lukisanmu memang tiada tandingannya dan selalu dapat menghidupkan apapun yang mati, bahkan orang hidup yang tengah mati seperti yang sedang bersamamu ini. Aku masih ingat, pasti kamu melukis hasil foto 5 tahun yang lalu saat kita diam-diam liburan ke Bali dengan gabungan hasil tabungan kita, ya, kan?”
Aku mengangguk. Dia tersenyum, sedikit.
“Sulit sekali mencari orang yang bersedia memotret kita sampai harus berputar-putar selama sejam. Untungnya ada orang bule yang bisa aku kadalin, haha. Namanya…”
“Mister Lee dari New York,”potongku refleks ikut menimpali. “Nama yang aneh untuk seorang turis dari Kota Apel,” komentarku lagi. Kami berdua tertawa untuk pertama kalinya.
Puas dan lepas. 

Aku kembali mendengar ocehannya, “Kita dikira anak kembar, hanya saja kamu lebih pendek lima centi. Lalu, orang tua kita yang sudah melarang habis-habisan harus sampai menyewa detektif untuk mencari kita. Sungguh konyol! Pulangnya, aku lagi-lagi dimarahi…
…tetapi kamu tidak lari. Kamu tetap di sampingku, membelaku dan tidak pernah meninggalkanku apalagi mengkhianatiku.” Tak lama.. Senyumnya terkembang…. lebih tulus –kurasa.

“Foto sepanjang masa berubah menjadi lukisan… ini berharga, kau tahu?”


to be continued...

MY L.O.V.E (PART 19) #Untold Story

SEBUAH PENGAKUAN (III) Diana menatap Micky, tatapan cowok itu begitu kelabu. Tidak ada sinar yang terpancar di sana. ...