Ranita Cahya Bella Ekatri (II)
Nita terus-menerus menggigiti ujung jarinya, bola matanya masih memandangi Dimas dari kejauhan, entah apa yang musti dilakukannya??
Tiga cara tadi adalah cara-cara yang bodoh plus nekat, tetapi kalau terpaksa ‘mau bagaimana lagi??’
Nita melangkah dengan sangat hati-hati, nafas yang tidak teratur, jantung seperti diremas-remas, berat sekali rasanya untuk bertemu dengan Dimas lagi. Namun, cowok yang sedari tadi celingukkan nggak jelas, akhirnya menengok pas tepat ke arah Nita yang sedang berdiri mematung. Langsung saja cowok itu berlari tergesa-gesa menghampiri Nita, sepertinya dia sangat kerepotan karena tangan kanan membawa popcorn ukuran large sementara tangan kirinya memegang kantung plastic berisi minuman soda.
“Nita! Elo dari mana aja??? Gue cariin kemana-mana. Gue khawatir, Nit.”
Sontak perkataan Dimas tadi langsung membuat Nita menjadi merasa tambah bersalah, dia pun hanya bisa menahan perih tusukan yang sekarang tepat memanah di hatinya. Matanya pun terasa penuh dengan air mata yang rasanya sudah siap untuk jatuh ke pelupuk mata. Tetapi Nita berusaha kuat dan tegar, dia tidak mau menangis sekarang apalagi menangis di depan sang tambatan hati.
“Please jangan sekarang air mata… please…” batinnya mengingatkan berulang kali.
“Nita, elo… elo kenapa? Sakit? Muka loe pucet gitu. Mata loe berair… elo abis nangis ya?? Apa mau nangis?? Nita… elo jangan buat gue bingung.”
“Ah?! Enggak, dim. Gue fine-fine aja, kok! Sorry udah buat elo khawatir dan cemas tadi. Kalau ma… mata gue ini…Cuma kelilipan debu! Iya, kelilipan! Ma… makanya Dan sorry juga, gue ke toilet nggak bilang dulu sama loe. Sorry ya…”jawabnya meskipun dengan nada yang terbata-bata dan sesekali agak terisak, itu juga karena ditahannya setengah mati, supaya Dimas nggak makin cemas.
“Sini gue mau ngomong sama loe…” ujar Dimas dengan nada selembut tirisan keju yang tipis.
Dimas menggamit tangan Nita, gadis itu pun langsung merasakan getaran listrik yang amat menyenangkan. Kemudian, diajaklah Nita ke tempat sepi, di sudut aula bioskop, lalu mereka berdua pun duduk berhadapan. Nita tahu seharusnya dirinya gugup setengah mati, tetapi perasaannya kini lain, dia justru merasa takut dan ia ingin pergi jauh… sejauh-jauhnya dari Dimas.
Nita tak sanggup melihat tatapan Dimas yang sangat bercahaya, namun membuat hati orang lain menjadi teduh dan dia pun akhirnya hanya bisa menundukkan kepala saja serta berharap malam minggu ini segera berakhir (meskipun harapan tersebut hanya omong kosong belaka, bukan harapan yang sebenar-benarnya).
“Nit…”ucapnya halus, lalu Dimas mengangkat dagu Nita yang daritadi hanya dapat menunduk.
“Gue nggak marah atau tersinggung kok sama ucapan loe tadi. Gue malah merasa tersanjung dan gue seneng banget kalau bisa buat elo nyaman di deket gue, karena gue juga ngerasain hal yang sama. Semenjak kita curhat dan cerita-cerita lebih deket, tentang hal-hal favorit kita, sekolah, bahkan sampai adik-adik kita, gue ngerasa banget kalo gue nyambung banget sama loe. Menurut gue, elo itu mirip banget sama mantan gue yang sekarang udah ada di surga sana.”
“Maa…mantan loe?”
“Iya! Namanya Hesti, dia gadis desa yang lugu banget. Dia… mantan gue waktu gue kelas tiga SMP. Tapi sayang, dia sekarang udah pergi untuk selama-lamanya, rasanya cepet banget ya! Andai gue bisa putar waktu supaya bisa balik lagi…”
Terlihat guratan kesedihan dan kepedihan yang amat mendalam dari wajah seorang Dimas yang sama sekali belum pernah Nita lihat. Sebab selama ini Nita selalu melihat Dimas dalam keadaan tersenyum atau sedang tertawa, dan sempat Nita berpikir kalau hidup Dimas terasa begitu menyenangkan, tidak seperti hidupnya yang terkadang justru berbanding terbalik alias kusut bangettt!!!
“Ka…kalo gue boleh tahu, ke…kenapa mantan loe itu bisa me…ninggal?” Pertanyaan yang simpatik, namun Nita berusaha mengucapkannya dengan sangat hati-hati. Dia tidak mau Dimas jadi terluka karena harus membuka lembaran pahit itu. Memang agak lama Nita harus menunggu jawaban dari Dimas, akan tetapi setelah sabar menunggu, Dimas pun menceritakan semuanya
.
“Hestii ku… kamu mau kan nonton aku tanding bulu tangkis?”tanya Dimas kepada kekasihnya itu saat mereka sedang berada di desa.
“Aku mau kok, dim! Tapi… berarti aku harus ke Jakarta, dong. Ikut sama kamu.”
“Iyalah, hes. Pokonya kamu tenang aja, nanti kamu bisa tinggal di rumah papaku untuk sementara. Kan! kita bisa sekalian ngabisin waktu liburan sekolah kita bersama-sama. Urusan izin sama bapak dan ibumu, biar nanti aku minta tolong sama papaku.”
“Duuhh gimana ya dim? Aku masih ragu-ragu untuk ninggalin bapak dan ibu sama adik-adikku di desa. Masih berat rasanya kalo liburan nggak bareng-bareng mereka.”
“Aku pingin banget kamu dukung aku dari deket!! Please… Aku yakin kalau ada kamu, pasti aku langsung bisa menang telak tanpa harus susah payah.”
“Kamu emang pinterrr banget ngerayu! Ya sudahlah, untuk kali ini aku penuhi permintaanmu, tapi itu juga kalau bapak dan ibuku merestui.”
“Siipp… Aku jadi makin saayyyaanggg sama kamu, hes.”
“Setelah ada restu dari orang tuanya Hesti, akhirnya dia diizinin pergi ke Jakarta. Tapi kita perginya pisah mobil, Hesti berangkat sama supir gue dan gue bareng papa. Dan setelah itu…”
Wajah Dimas kian meredup, tatapannya yang teduh menjadi mendung dan kalut. Nita menjadi makin… semakin bersalah, apa haknya untuk tahu urusan pribadi apalagi menyangkut tentang sebab kematian orang yang sangat dicintai orang tersebut, toh! Nita bukanlah pacar Dimas, dia hanya sebatas teman meskipun sudah merasa dekat satu sama lain.
“Dim, sudah cukup. Loe nggak usah terusin, gue tahu itu sangat menyakitkan dan menyayat hati… Gue ngerti dim.”
“Enggak! Gue harus terusin sampai selesai. Bagaimanapun elo wajib tahu, karena sampai saat ini Cuma elo satu-satunya sahabat yang bisa ngertiin gue dan gue ngerasa kalo elo emang layak jadi sahabat paling deket yang gue punya.”
“Oo…oke, baiklah! Tapi, kalo elo emang pingin semuanya terasa ringan, jangan malu buat nangis di depan gue. Dan gue siap jadi tampungan kesedihan loe, dim!”sahut Nita menghibur sambil berusaha untuk sedikit tersenyum, meskipun entah mengapa ia jadi ingin ikut menguraikan air mata. Apa karena cerita tentang kematian mantannya Dimas yang begitu tragis atau karena ada hal yang lain yang mengganggunya.
“Makasih. Gue lanjutin ya…
….Setelah sampai tol Jakarta, mobil yang di tumpangi Hesti tergelincir di Jalan akibat berusaha menghindari lubang yang agak besar di jalan. Tetapi supir gue nggak bisa ngontrol mobil dan akhirnya mobil itu menabrak pembatas jalan dengan keras sampai-sampai mobilnya terbalik. Lalu, Hesti dan supir gue langsung di bawa ke rumah sakit, gue bener-bener syok ngelihat kondisi Hesti yang seperti itu. Dan takdir pun mengatakan Hesti… akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah sakit akibat patah tulang kaki serta pendarahan di otak, sedangkan supir gue justru malah selamat dari kecelakaan maut itu.”
“Emang maut dan jodoh ada di tangan Tuhan semuanya. Cuma Tuhan yang tahu akan akhir hidup kita, gue yakin Hesti sekarang masih cinta sama elo dan setia nunggu loe di surga sana. Jadi, elo nggak perlu putus asa dan ngerasa sedih, justru elo harus bangkit dan makin bersemangat untuk jalanin hari-hari loe. Gue jamin dengan elo terus hidup kayak gitu, Hesti pun bakal senang dan tenang di sana.”
Nasihat Nita yang terdengar tulus, membuat Dimas menjadi tersentuh hatinya. Tanpa terasa mereka berdua hanyut dalam kesedihan, bola mata cowok itu kini telah tergenang air mata, sementara Nita justru telah menumpahkan kesedihannya.
“Sssh…” jari telunjuk Dimas yang lembut menyeka air mata Nita yang telah membasahi pipi. Dalam satu rengkuhan, Nita pun merasa hangat dalam dekapan Dimas.
Inikah rasanya dicintai… Inikah yang dirasakan remaja saat sedang dimabuk asmara. Entah apa yang tengah dirasakan cewek manis itu,
“Takut??” “Khawatir??” “Atau campur keduanya??”
Kini perasaannya tidak bisa ditebak… tidak menentu…
***
to be continued
*pict. source: https://www.pinterest.com/pin/352477108321502328/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar