Dia Ada Disini (III)
Loe itu hebat di... Loe tetep ngasih senyuman loe buat kita semua padahal gue tahu elo
lagi nggak aman sekarang, ucap Ben dalam hati.
***
“Loe tunggu di sini ya, di! Gue ambil mobil dulu, soalnya kan tadi kita markirinnya rada jauh, kasian loe capek nanti. Oke?”
“Iya Ben. Aku tunggu.”
Lalu, Ben mengelus kepala gadis itu lembut dan pergi untuk mengambil mobil. Sementara Diana masih siaga satu, hatinya was-was, pandangannya tak lepas untuk melihat sekeliling area parkir yang sepi.
“Filmnya seru kan sayang...”
Tiba-tiba saja terdengar suara bass yang tidak lagi asing ditelinganya. Gadis itu gemetar ketika hendak menengok ke samping kanannya, tepat di mana suara itu muncul. Dan...
“Please, kamu jangan ganggu aku lagi...”lirih Diana, ia sudah tidak tahan lagi untuk tidak menangis.
Kemudian, pemilik suara bass tersebut justru tambah mendekati Diana. Sekarang mereka berdua tengah berhadapan, lalu cowok itu mengangkat dagu Diana sehingga sepasang bola mata mereka kembali beradu persis seperti di dalam bioskop tadi. Diana hanya bisa pasrah dan air matanya tak berhenti mengalir.
“Kamu jangan nangis sayang, aku nggak bakal nyakitin kamu...”sahut cowok itu lagi dengan nada mesra sambil menghapus air mata Diana.
***
“Loe tunggu di sini ya, di! Gue ambil mobil dulu, soalnya kan tadi kita markirinnya rada jauh, kasian loe capek nanti. Oke?”
“Iya Ben. Aku tunggu.”
Lalu, Ben mengelus kepala gadis itu lembut dan pergi untuk mengambil mobil. Sementara Diana masih siaga satu, hatinya was-was, pandangannya tak lepas untuk melihat sekeliling area parkir yang sepi.
“Filmnya seru kan sayang...”
Tiba-tiba saja terdengar suara bass yang tidak lagi asing ditelinganya. Gadis itu gemetar ketika hendak menengok ke samping kanannya, tepat di mana suara itu muncul. Dan...
“Please, kamu jangan ganggu aku lagi...”lirih Diana, ia sudah tidak tahan lagi untuk tidak menangis.
Kemudian, pemilik suara bass tersebut justru tambah mendekati Diana. Sekarang mereka berdua tengah berhadapan, lalu cowok itu mengangkat dagu Diana sehingga sepasang bola mata mereka kembali beradu persis seperti di dalam bioskop tadi. Diana hanya bisa pasrah dan air matanya tak berhenti mengalir.
“Kamu jangan nangis sayang, aku nggak bakal nyakitin kamu...”sahut cowok itu lagi dengan nada mesra sambil menghapus air mata Diana.
Sementara itu, Diana tambah ketakutan, ia ingin sekali menghindari tatapan ‘iblis’ itu tapi
tak bisa, ia tak bisa mengelak, “Aku mohon... to..tolong lepasin ak..aku, ak..aku mohon.. aku
janji.. aku kasih apa..apapun ya..yang kamu mau ta..tapi jangan gang..gu aku, dhu..” jelasnya
terbata-bata. Pikirannya sudah kosong, ia hanya bisa berusaha untuk nggak pingsan di tempat.
“Aku Cuma mau kamu sayang... Aku sayang sama kamu di...”balas Edhu lagi sambil mengusap punggung rambut hitam Diana yang tergerai.
“Edhu... Rasa sayang itu nggak bisa di paksain. Aku bisa kok jadi temen kamu, aku mau asal kamu berubah. Nggak begini... Aku..aku...”
Lalu, Edhu menggenggam kedua tangan Diana dengan paksa, “Di! Kamu nggak ngerti yah?! AKU CINTA DI... Aku nggak peduli! AKU MAU KAMU! CUMA KAMU!”potongnya dengan nada tinggi dan penuh penekanan pada kata-katanya yang terakhir.
Diana pasrah dan tertunduk, ia nggak ngerti lagi apa yang harus dilakukannya untuk menyadarkan Edhu, kalo semua yang dia lakuin itu... ENGGAK BENER! Diana cuma bisa berharap supaya mobil Ben segera ke sini, berharap abangnya cepat datang... Ia tidak kuat lagi berhadapan dengan makhluk macam Edhu.
Ternyata, doa Diana cepat terkabul, tak lama kemudian sebuah mobil BMW hitam datang mendekati Diana. Sementara Edhu yang melihat dengan sigap menyingkir. Sebelum pergi ia pun setengah berbisik,
“Diana... aku akan selalu sayang kamu sampai kapanpun dan aku nggak akan nyerah sampai aku miliki kamu, meskipun aku harus berhadapan dengan orang seperti Benjamin... Sampai jumpa sayang...” Setelah itu, seperti kilat, Edhu pun menghilang meninggalkan Diana berdiri mematung dengan tatapan kosong.
TIN! TIN!
“Diana... Ayo masuk.” sahut Ben. Hening.
Lalu Ben pun turun dari mobil dan menghampiri Diana. “Diana... Diana... Loe kenapa di?” ucap Ben berulang kali sampai akhirnya dia pun tersadar.
“Bbb... Ben..”
Ben menggenggam tangan Diana. Dingin seperti es. Cowok itu juga mengusap air mata Diana yang mengering. Tanpa keraguan, Ben memeluk kembali Diana, ia tahu kalo tadi penyebabnya pasti ‘orang itu’. Ben jadi merasa amat bersalah meninggalkan Diana sendiri, dalam hati ia berkali-kali mengutuki dirinya sendiri.
“Di.. udah kita pulang yuk. Biar loe bisa tiduran di mobil. Sekarang udah ada gue... Gue minta maaf di... Seharusnya gue nggak ninggalin loe. Udah jangan takut lagi ya di, gue janji nggak ninggalin loe lagi kayak tadi..” jelas Ben panjang lebar.
“Aku yang salah Ben... Aku belum bisa kuat.”balas Diana pelan.
“Aku Cuma mau kamu sayang... Aku sayang sama kamu di...”balas Edhu lagi sambil mengusap punggung rambut hitam Diana yang tergerai.
“Edhu... Rasa sayang itu nggak bisa di paksain. Aku bisa kok jadi temen kamu, aku mau asal kamu berubah. Nggak begini... Aku..aku...”
Lalu, Edhu menggenggam kedua tangan Diana dengan paksa, “Di! Kamu nggak ngerti yah?! AKU CINTA DI... Aku nggak peduli! AKU MAU KAMU! CUMA KAMU!”potongnya dengan nada tinggi dan penuh penekanan pada kata-katanya yang terakhir.
Diana pasrah dan tertunduk, ia nggak ngerti lagi apa yang harus dilakukannya untuk menyadarkan Edhu, kalo semua yang dia lakuin itu... ENGGAK BENER! Diana cuma bisa berharap supaya mobil Ben segera ke sini, berharap abangnya cepat datang... Ia tidak kuat lagi berhadapan dengan makhluk macam Edhu.
Ternyata, doa Diana cepat terkabul, tak lama kemudian sebuah mobil BMW hitam datang mendekati Diana. Sementara Edhu yang melihat dengan sigap menyingkir. Sebelum pergi ia pun setengah berbisik,
“Diana... aku akan selalu sayang kamu sampai kapanpun dan aku nggak akan nyerah sampai aku miliki kamu, meskipun aku harus berhadapan dengan orang seperti Benjamin... Sampai jumpa sayang...” Setelah itu, seperti kilat, Edhu pun menghilang meninggalkan Diana berdiri mematung dengan tatapan kosong.
TIN! TIN!
“Diana... Ayo masuk.” sahut Ben. Hening.
Lalu Ben pun turun dari mobil dan menghampiri Diana. “Diana... Diana... Loe kenapa di?” ucap Ben berulang kali sampai akhirnya dia pun tersadar.
“Bbb... Ben..”
Ben menggenggam tangan Diana. Dingin seperti es. Cowok itu juga mengusap air mata Diana yang mengering. Tanpa keraguan, Ben memeluk kembali Diana, ia tahu kalo tadi penyebabnya pasti ‘orang itu’. Ben jadi merasa amat bersalah meninggalkan Diana sendiri, dalam hati ia berkali-kali mengutuki dirinya sendiri.
“Di.. udah kita pulang yuk. Biar loe bisa tiduran di mobil. Sekarang udah ada gue... Gue minta maaf di... Seharusnya gue nggak ninggalin loe. Udah jangan takut lagi ya di, gue janji nggak ninggalin loe lagi kayak tadi..” jelas Ben panjang lebar.
“Aku yang salah Ben... Aku belum bisa kuat.”balas Diana pelan.
Ben menghela nafas, berusaha menguatkan Diana, “Loe itu kuat kok! Kan loe wonder
woman gue! Sekarang kita pulang, jemput kak Nita juga. Elo ntar sampe rumah tidur langsung.
Tenang aja elo nggak sendiri di, Oke! Percaya sama gue...”
Diana menatap bola mata biru jernih cowok itu, ia merasa lebih baik, jauh lebih tenang, sepertinya omongan Ben telah membuatnya sedikit lupa tentang yang tadi dialaminya bersama cowok brengsek itu. Diana tersenyum lirih, “Iya Ben, aku pasti percaya sama kamu...
.... Kamu juga janji ya Ben jangan cerita masalah ini ke siapapun termasuk kak Nita... Aku nggak mau ungkit-ungkit ini lagi... Ini rahasia kita berdua ya Ben... Janji?”
Ben membalas senyuman Diana dan mengangguk, “Janji.”
Lalu mereka berdua pun segera meninggalkan area parkir tersebut. Sedangkan, Edhu yang menyaksikan pemandangan Diana-Ben hanya tersenyum sinis sambil menyalakan mesin mobil Ferrari hitam miliknya,
“Elo liat aja nanti Benjamin! Harta loe pasti jadi milik gue dan itu nggak akan lama lagi.”
***
Diana menatap bola mata biru jernih cowok itu, ia merasa lebih baik, jauh lebih tenang, sepertinya omongan Ben telah membuatnya sedikit lupa tentang yang tadi dialaminya bersama cowok brengsek itu. Diana tersenyum lirih, “Iya Ben, aku pasti percaya sama kamu...
.... Kamu juga janji ya Ben jangan cerita masalah ini ke siapapun termasuk kak Nita... Aku nggak mau ungkit-ungkit ini lagi... Ini rahasia kita berdua ya Ben... Janji?”
Ben membalas senyuman Diana dan mengangguk, “Janji.”
Lalu mereka berdua pun segera meninggalkan area parkir tersebut. Sedangkan, Edhu yang menyaksikan pemandangan Diana-Ben hanya tersenyum sinis sambil menyalakan mesin mobil Ferrari hitam miliknya,
“Elo liat aja nanti Benjamin! Harta loe pasti jadi milik gue dan itu nggak akan lama lagi.”
***
“Loe tadi nikmatin filmnya kan Nit?” tanya Dimas di tengah keheningan dalam
perjalanan mereka pulang.
Nita hanya mengangguk seraya diam.
Dimas menarik nafas panjang, lalu memberhentikan mobilnya di pinggir jalan besar yang hanya dilalui sedikit kendaraan, “Jujur... gue sedih lihat loe begini... Gue suka Nita pas awal perjalanan kita tadi ke Mall. Gue tahu loe mungkin begini juga gara-gara gue, tapi plis kasih tahu gue dimana letak kesalahan gue Nit supaya gue bisa memperbaikinya. Gue nggak mau pertemanan kita harus ancur gini aja...” ucapnya.
Guratan wajah Dimas terbias rasa kecewa. Nita semakin tak berani menatap mata laki- laki itu, ia justru tertunduk tanpa balasan kalimat apa-apa.
“Nita... coba sekarang tatap mata gue....” Dimas memaksa lembut dan mengangkat dagu Nita, lalu memalingkan wajahnya ke hadapan wajah cowok itu sehingga membuat Nita bisa menatap guratan itu. Guratan yang ia tak mau dilihat, rasanya sakit. Perih.
“Gue mau bilang kalo gue juga...”
Sejenak Dimas memotong kalimatnya, membuat Nita semakin tak ingin melihat sinar mata cowok itu -Si atlet bulu tangkis yang sangat dikaguminya atau... di cintainya...
Dimas mendekatkan bibirnya ke telinga Nita sampai jarak mereka sangat dekat, lalu ia setengah berbisik, “Gue juga selalu nyaman kalo di deket lo Nit...”
Nita hanya mengangguk seraya diam.
Dimas menarik nafas panjang, lalu memberhentikan mobilnya di pinggir jalan besar yang hanya dilalui sedikit kendaraan, “Jujur... gue sedih lihat loe begini... Gue suka Nita pas awal perjalanan kita tadi ke Mall. Gue tahu loe mungkin begini juga gara-gara gue, tapi plis kasih tahu gue dimana letak kesalahan gue Nit supaya gue bisa memperbaikinya. Gue nggak mau pertemanan kita harus ancur gini aja...” ucapnya.
Guratan wajah Dimas terbias rasa kecewa. Nita semakin tak berani menatap mata laki- laki itu, ia justru tertunduk tanpa balasan kalimat apa-apa.
“Nita... coba sekarang tatap mata gue....” Dimas memaksa lembut dan mengangkat dagu Nita, lalu memalingkan wajahnya ke hadapan wajah cowok itu sehingga membuat Nita bisa menatap guratan itu. Guratan yang ia tak mau dilihat, rasanya sakit. Perih.
“Gue mau bilang kalo gue juga...”
Sejenak Dimas memotong kalimatnya, membuat Nita semakin tak ingin melihat sinar mata cowok itu -Si atlet bulu tangkis yang sangat dikaguminya atau... di cintainya...
Dimas mendekatkan bibirnya ke telinga Nita sampai jarak mereka sangat dekat, lalu ia setengah berbisik, “Gue juga selalu nyaman kalo di deket lo Nit...”
Nita tak mengerti, bingung. Seharusnya malam ini adalah malam terindah baginya karena
kalimat itu merupakan kalimat yang sangat Nita harapkan dari seorang Dimas, tetapi justru
hatinya tambah perih. Apa mungkin ini karena ia merasa belum layak untuk mengisi kekosongan
Dimas, ia merasa tak pantas untuk menggantikan Hesti –posisi mantan kekasih atau... cinta
sejati Dimas.
Dimas menggenggam kedua pergelangan tangan Nita, tidak erat, tapi sangat menyentuh relung hati Nita. Akhirnya, Nita memberanikan diri untuk berucap, ia tidak ingin menunggu lebih lama lagi kalo berhadapan dengan Dimas dalam kondisi yang seperti ini. Pilu.
“Dimas... “sahutnya, terselip senyum kecil di sana.
“Gue seneng kok jalan sama loe...Gue juga suka filmnya... Gue minta maaf udah buat loe jadi bingung gara-gara gue. Maaf ya dim...”
Dimas tersenyum lalu menyentuh pipi Nita, “Nggak ada yang salah dan perlu dimaafin. Kita tetep jadi sahabat kan Nit? Gue nggak mungkin kuat kalo...”
“Iya Dimas, tenang aja. Mana mau gue nggak jadi temen loe Dim, hehe..” potong Nita cepat, ia tertawa kecil meski dihatinya terasa pahit.
Tetapi Nita harus bersikap dewasa sekarang! Dia nggak boleh menunjukkan wajah sedih itu lagi, cukup untuk air matanya jatuh hari ini! Toh, Dimas juga tidak lagi menguraikan air matanya, hanya guratan kecewa itu...
“Nah gitu dong! Kalo lihat loe ketawa gini kan gue juga seneng, Nit! Gue jadi tenang sekarang... Kita terusin pulangnya ya, biar loe bisa cepet istirahat di rumah. Gue nggak mau loe jadi sakit gara-gara gue, hehehe.”timpal Dimas dengan tawa kecilnya yang khas –yang sangat disukai Nita.
Kini, guratan itu sepertinya sudah terhapus dari wajah Dimas dan Nita pun tersenyum mengangguk. Ia juga merasa jauh lebih tenang, seraya mendegar lagu Eqoutez- Simpan saja...
Ku akui dirimu pernah berarti...
Dan memang hidupku hampa tanpamu Namun lebih baik ku sendiri
Simpan saja rasa di hatimu
Sudah lupakan
Hasratku tak lagi untuk saling mencinta Sudah sampai disini...
Dimas menggenggam kedua pergelangan tangan Nita, tidak erat, tapi sangat menyentuh relung hati Nita. Akhirnya, Nita memberanikan diri untuk berucap, ia tidak ingin menunggu lebih lama lagi kalo berhadapan dengan Dimas dalam kondisi yang seperti ini. Pilu.
“Dimas... “sahutnya, terselip senyum kecil di sana.
“Gue seneng kok jalan sama loe...Gue juga suka filmnya... Gue minta maaf udah buat loe jadi bingung gara-gara gue. Maaf ya dim...”
Dimas tersenyum lalu menyentuh pipi Nita, “Nggak ada yang salah dan perlu dimaafin. Kita tetep jadi sahabat kan Nit? Gue nggak mungkin kuat kalo...”
“Iya Dimas, tenang aja. Mana mau gue nggak jadi temen loe Dim, hehe..” potong Nita cepat, ia tertawa kecil meski dihatinya terasa pahit.
Tetapi Nita harus bersikap dewasa sekarang! Dia nggak boleh menunjukkan wajah sedih itu lagi, cukup untuk air matanya jatuh hari ini! Toh, Dimas juga tidak lagi menguraikan air matanya, hanya guratan kecewa itu...
“Nah gitu dong! Kalo lihat loe ketawa gini kan gue juga seneng, Nit! Gue jadi tenang sekarang... Kita terusin pulangnya ya, biar loe bisa cepet istirahat di rumah. Gue nggak mau loe jadi sakit gara-gara gue, hehehe.”timpal Dimas dengan tawa kecilnya yang khas –yang sangat disukai Nita.
Kini, guratan itu sepertinya sudah terhapus dari wajah Dimas dan Nita pun tersenyum mengangguk. Ia juga merasa jauh lebih tenang, seraya mendegar lagu Eqoutez- Simpan saja...
Ku akui dirimu pernah berarti...
Dan memang hidupku hampa tanpamu Namun lebih baik ku sendiri
Simpan saja rasa di hatimu
Sudah lupakan
Hasratku tak lagi untuk saling mencinta Sudah sampai disini...
***
to be continued
*pict. source:https://clip2art.com/explore/Drawn%20amd%20best%20friend/#go_post_10484_drawn-kopel-bed-14.jpg