UTANG NYAWA (bagian II-akhir)
Kakiku
berjalan setengah menyeret. Badanku membungkuk, lalu memungut lembaran
surat-surat itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Ingin kupastikan apakah ini
tulisan bapak atau bukan.
Sebelum
koma, bapak seringkali tertangkap basah sedang serius menulis. Selagi menulis,
siapapun dilarang masuk kamarnya. Bapak bahkan pernah mengusir penjenguknya.
Suster Tere yang biasa mengantar sarapan bapak mengadu padaku. Katanya, ia
melihat bapak duduk tegak di kasur. Tatapan kosongnya memandang ke luar
jendela. Ekspresinya sulit ditebak. Lalu pena di jarinya kembali sibuk
bergerak.
Suma
juga menemukan kertas-kertas ini di laci kamar rawat bapak. Kertas yang
terlipat-lipat hingga kecil. Kertas yang tersimpan di tumpukan paling bawah
buku-buku bacaannya. Jadi keraguan apa lagi yang bisa kubantah?
Awalnya bapak hanya
berniat memperluas koneksi dengan orang-orang penting negeri ini. Tapi bapak berada
di posisi sulit. Rantai pencucian uang terlanjur membentang. Antara sadar dan
tidak, bapak telah diikat nafsu. Namun akal sehat yang masih menyala
memperingatkan bapak. Suat saat sandiwara terbongkar, maka bapak perlu
berjaga-jaga. Mereka -para politisi, petinggi pemerintah dan militer-menjadi
koleksi boneka bapak.
Satu per satu boneka
bapak berkhianat. Mereka mulai menyebut nama bapak di persidangan. Pers turut
memperbesar badai perkara. Di kursi pesakitan, bapak menyaksikan kamu dan ibumu
terombang-ambing dalam ketidakpastian permainan yang bapak buat. Pengacara
kondang itu hampir lepas tangan.
Di titik kritis, bapak
ingat masih punya senjata.
Malam
sebelum sidang putusan akhir. Keadilan negeri ini bapak beli dengan harga pantas. Sekarang tinggal menunggu
bunyi terakhir ketukan palu.
Aku
selalu ingat hari dimana penyihir jahat lenyap dari muka bumi. Tepat saat
lonceng sekolah berbunyi, buru-buru kakiku mengayuh sepeda ke rumah. Kulihat
ibu berdiri menunggu di teras depan. Lalu berlari kecil menghampiriku. Ia
mengacak-acak rambutku dan menciuminya berkali-kali.
“Bapak
akan pulang, nak... Kita bisa berkumpul lagi. Yuk kita masak makanan kesukaan
bapak, nak..” ucap ibu, bibirnya bergetar.
Apakah semua kembali
normal? Salah, nak. Kasus mafia pajak memang ditutup. Bapak merasa di atas
angin. Namun, skenario Tuhan berkehendak lain. Beberapa hari menghirup udara
bebas, bawahan bapak membawa kabar buruk. Sebuah media lokal memuat artikel
utama tentang kejanggalan atas keputusan hakim agung yang membebaskan bapak.
Artikel yang ditulis jurnalis laki-laki berkacamata bulat.
Bagi
bapak, asal ada uang semuanya beres. Jadi bapak meminta bantuan kawan di
militer. Bapak bayar oknum itu. Lalu perintahkan supaya jejak jurnalis muda itu
hilang tak berbekas. Menghalalkan segala cara. Kemudian media lokal itu
dibredel paksa. Hingga tiada kabar duka apa-apa. Semua berjalan lancar...
Sayang, tanpa sepengetahuan bapak, istri si
jurnalis muda itu nekat menemui ibumu. Menceritakan suaminya yang hilang
setelah tulisan tentang bapak dimuat. Di rumah, ibumu terus mendesak bapak.
Ibumu berteriak hingga kami bertengkar hebat. Bapak langsung balik membentak.
Tanpa sadar membocorkan hal yang selama ini tertutup rapat. Mendengarnya, ibumu
langsung tak sadarkan diri.
Ibumu meninggal bukan
serangan jantung melainkan karena bapak...
Maafkan,nak... Maafkan.
Aku termenung melihat foto yang terpajang di
atas meja sebelah kiri tempat tidur bapak. Potret diriku bertoga sarjana
tingkat satu, lulusan jurnalisme. Bapak yang merangkul erat bahuku dari
samping.
Karena itu, bapak terobsesi
agar kamu menjadi jurnalis. Meski kamu menolak mentah-mentah, bapak berusaha
membujuk. Kamu yang pandai menulis seperti bapak. Kamu yang mahir menganalisis
sesuatu persis ibumu. Bapak memaksamu bukan untuk menebus kesalahan. Bapak
hanya tidak mau kamu seperti bapak, sebab..
Foto
itu pecah. Suma yang mendengar langsung menerobos masuk kamar. Ia melihatku
lebih kacau, berantakan dari sebelumnya. Kertas-kertas itu kuremas dalam satu
genggaman. Suma memelukku sambil mencoba menguatkan. Tapi hanya kalimat
terakhir bapak yang terus berdengung di kepalaku.
Kejujuran itu adalah
harga mati. Ingatlah, nak. Berjanjilah.
***
Terdengar jeruji besi berdecit
nyaring. Dua sipir galak membangukan. Mata tak lagi pejam. Tiba waktunya
menebus kejujuran bapak yang tertunda. Membayar utang dengan nyawa. Suma,
istriku yang setia. Kusimpan selalu kepercayaanmu atas pilihanku memikul
tanggungjawab ini sendiri. Gio, ksatria kecilku, kutinggalkan kisah kakek dan
ayahmu dalam koran pagi nanti. Ibu akan membantumu agar kau paham, nak.
Bersama deru peluru bergema tiga
kali. Utang itu, lunas.
Bekasi, 31 Desember 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar