Jumat, 01 Mei 2015

Cerpen Korupsi



UTANG NYAWA     (bagian I)                                  


            Sebentar lagi giliran aku kehilangan siang dan malam. Kenangan yang tersisa dalam ingatan hanya Suma, istriku yang setia. Kulit cokelatnya, rambut panjang hitamnya yang selalu dikepang satu, gigi gingsul kecilnya, dan matanya yang melebar tiap kali tersenyum. Gio juga, ksatria kecilku yang gagah. Tawa lepasnya ketika berhasil menjadi nomor satu di kelas atau rengekannya semalaman jika turun peringkat.
Ah, aku rela membayar berapa pun harga potongan-potongan manis itu agar bisa mencicipinya. Sekali lagi sebelum jasadku membangkai. Tapi, pembuktian sayangku pada seorang yang lain menjadi ikrar kuat. Penebusan rasa bersalah atas tiga lembar surat. Surat-surat yang tinta birunya sudah samar-samar akibat kubaca, kutangisi, kuremas, dan tak ingin kupercaya beribu kali.
***
            Nak, waktu tahu kamu diterima bekerja menjadi jurnalis, bapak menahan supaya tangan ini tidak menamparmu..
            Tanah makam bapak masih basah. Doa-doa khusyuk para pelayat terus berkumandang mengantar kepergiannya. Dukaku belum kering walau sudah tiga hari berlalu. Kucoba menenangkan diri dengan duduk di kursi goyang kesayangan bapak di kamarnya. Sementara mataku bergerak mengikuti arah tulisan di lembar surat pertama.
            Dulu kamu memang masih terlalu kecil untuk mengerti, nak. Kamu tidak bertanya macam-macam kepada ibumu, setelah mendengar jawaban kalau bapak sibuk bekerja. Menangis hanya sesekali karena rindu.
Suatu hari kamu memeluk dan berbisik, ingin menjadi orang dewasa seperti bapak. Saat itu juga pisau roti di meja makan seolah menghentikan detak jantung bapak.
            Bapak keliru. Aku tahu bapak ditimpa masalah, meski sudah menyimpannya rapat-rapat. Seperti halnya aku merahasiakan ini dari bapak.
“Teman-teman! Kata bu guru tadi kan korupsi kayak mencuri. Bapaknya dia ini kata papaku udah korupsi! Kita nggak boleh berteman sama dia!” teriak Ano, murid paling bongsor di sekolah.
Telingaku disesaki ejekan teman-teman lain. Tubuhku mendadak kerdil sehingga mudah saja bagi Ano mendorongku keras. Tempurung kepalaku sempat terantuk lantai. Pusing yang menyergap membuatku pasrah dihajar sampai babak belur. Tapi untunglah bu guru cepat datang melerai kami.
Selesai dinasihati, aku bertanya, apa bu guru juga menganggap bapakku jahat? Bu guru percaya kalau bapakku pencuri?
Raut wajahnya menegang. Lama tak ada sahutan, akhirnya ia menggeleng pelan. Bapakmu pasti sangat menyayangimu maka kamu juga harus selalu menghormati beliau, begitu kata bu guru.  
Malamnya tanpa sengaja, aku mencuri dengar pertengkaran kecil bapak dan ibu. Kalian berdebat soal ‘apakah semua pemberitaan itu benar?’. Kulihat ibu menangis sesenggukan, sedangkan bapak menggeleng-gelengkan kepala sambil mengusap lembut bahu ibu. Sejak itu, aku yakin bapak tidak bersalah. Dalam imajiku, aku percaya ada penyihir jahat yang bersembunyi menyebarkan cerita bohong ini.
Setiap kali meninggalkanmu untuk duduk di kursi pesakitan,  bapak merasa kuat sekaligus takut. Bapak kuat karena ibumu bilang kamu berjanji akan menemukan penyihir yang telah menganggu. Bapak terharu dan terhibur oleh polosnya pemikiran kamu. Tapi nak, apa yang akan kamu lakukan jika tahu penyihir itu adalah bapak sendiri?
Aku sadar bapak lebih sering muncul di televisi. Ibu melarangku menontonnya. Terakhir kali yang kutahu, bapak dikelilingi orang-orang yang terus melontarkan pertanyaan. Seruan mereka hanya dijawab dengan senyuman. Kilatan kamera mereka saling menyikut untuk mendapat momen itu. Wajah bapak tampak seletih ibu yang belakangan ini jarang tidur.
Suatu kali salah satu dari mereka bertamu. Ibu lantas mengenalkannya padaku. Kata ibu, mereka adalah jurnalis yang bertugas menyampaikan kebenaran informasi. Bagiku, mereka justru penyihir jahat yang kucari-cari.
Bapak terpaksa membungkam mulut jurnalis itu hingga sekarang. Tulisan-tulisan kritis mereka mengalahkan kelihaian bapak berkilah. Seperti alasan tidak ingat, trik pura-pura lupa, penyangkalan satu per satu bukti dan menolak kenal saksi-saksi yang dihadirkan dalam sidang.  
Ibumu yang kalut menyuruh bapak merelakan kehidupan mewah ini. Tapi bapak tidak mau menyerah. Mengaku sebagai mafia pajak berarti menghapus waktu kebersamaan bapak denganmu selamanya, nak. Walaupun kenyataan pahit itu... benar. 
Bom di kepalaku meledak. Ketiga lembar surat yang belum habis terbaca kuinjak-injak sebagai pelampiasan. Kebenaran apa ini! Apa  bapak sengaja merekayasa? Tapi, tapi, bapak telah dinyatakan bebas dari segala tuntutan.. Bagaimana bisa?
“Mas, ada teman-teman wartawanmu datang ingin belasungkawa. Temuilah dulu sebentar,” ujar Suma, istriku, membuyarkan lamunan. Ia berdiri menunggu di depan pintu kamar yang sebenarnya tidak terkunci.
Rasanya kali ini akan salah jika berada dekat mereka, “Ak-ak-aku mau sse-sen-diri dulu. Maaf.”
Tak lama beberapa kali ketukan pintu muncul, disusul suara putraku Gio. “Ayah.. Ayah tidak apa-apa kan?”
Ketika hendak memutar kenop pintu, suasana kembali sunyi. Suma mungkin sudah mengajak Gio pergi untuk memberiku waktu sendiri.
Kakiku berjalan setengah menyeret. Badanku membungkuk, lalu memungut lembaran surat-surat itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Ingin kupastikan apakah ini tulisan bapak atau bukan. 


*bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MY L.O.V.E (PART 19) #Untold Story

SEBUAH PENGAKUAN (III) Diana menatap Micky, tatapan cowok itu begitu kelabu. Tidak ada sinar yang terpancar di sana. ...