UTANG
NYAWA (bagian I)
Sebentar lagi giliran aku kehilangan
siang dan malam. Kenangan yang tersisa dalam ingatan hanya Suma, istriku yang
setia. Kulit cokelatnya, rambut panjang hitamnya yang selalu dikepang satu,
gigi gingsul kecilnya, dan matanya yang melebar tiap kali tersenyum. Gio juga,
ksatria kecilku yang gagah. Tawa lepasnya ketika berhasil menjadi nomor satu di
kelas atau rengekannya semalaman jika turun peringkat.
Ah,
aku rela membayar berapa pun harga potongan-potongan manis itu agar bisa
mencicipinya. Sekali lagi sebelum jasadku membangkai. Tapi, pembuktian sayangku
pada seorang yang lain menjadi ikrar kuat. Penebusan rasa bersalah atas tiga
lembar surat. Surat-surat yang tinta birunya sudah samar-samar akibat kubaca,
kutangisi, kuremas, dan tak ingin kupercaya beribu kali.
***
Nak,
waktu tahu kamu diterima bekerja menjadi jurnalis, bapak menahan supaya tangan
ini tidak menamparmu..
Tanah makam bapak masih basah.
Doa-doa khusyuk para pelayat terus berkumandang mengantar kepergiannya. Dukaku
belum kering walau sudah tiga hari berlalu. Kucoba menenangkan diri dengan
duduk di kursi goyang kesayangan bapak di kamarnya. Sementara mataku bergerak
mengikuti arah tulisan di lembar surat pertama.
Dulu
kamu memang masih terlalu kecil untuk mengerti, nak. Kamu tidak bertanya
macam-macam kepada ibumu, setelah mendengar jawaban kalau bapak sibuk bekerja.
Menangis hanya sesekali karena rindu.
Suatu hari kamu memeluk
dan berbisik, ingin menjadi orang dewasa seperti bapak. Saat itu juga pisau
roti di meja makan seolah menghentikan detak jantung bapak.
Bapak keliru. Aku tahu bapak ditimpa
masalah, meski sudah menyimpannya rapat-rapat. Seperti halnya aku merahasiakan
ini dari bapak.
“Teman-teman!
Kata bu guru tadi kan korupsi kayak mencuri. Bapaknya dia ini kata papaku udah
korupsi! Kita nggak boleh berteman sama dia!” teriak Ano, murid paling bongsor
di sekolah.
Telingaku
disesaki ejekan teman-teman lain. Tubuhku mendadak kerdil sehingga mudah saja
bagi Ano mendorongku keras. Tempurung kepalaku sempat terantuk lantai. Pusing
yang menyergap membuatku pasrah dihajar sampai babak belur. Tapi untunglah bu
guru cepat datang melerai kami.
Selesai
dinasihati, aku bertanya, apa bu guru juga menganggap bapakku jahat? Bu guru
percaya kalau bapakku pencuri?
Raut
wajahnya menegang. Lama tak ada sahutan, akhirnya ia menggeleng pelan. Bapakmu pasti sangat menyayangimu maka kamu
juga harus selalu menghormati beliau, begitu kata bu guru.
Malamnya
tanpa sengaja, aku mencuri dengar pertengkaran kecil bapak dan ibu. Kalian
berdebat soal ‘apakah semua pemberitaan itu benar?’. Kulihat ibu menangis
sesenggukan, sedangkan bapak menggeleng-gelengkan kepala sambil mengusap lembut
bahu ibu. Sejak itu, aku yakin bapak tidak bersalah. Dalam imajiku, aku percaya
ada penyihir jahat yang bersembunyi menyebarkan cerita bohong ini.
Setiap kali
meninggalkanmu untuk duduk di kursi pesakitan, bapak merasa kuat sekaligus takut. Bapak kuat
karena ibumu bilang kamu berjanji akan menemukan penyihir yang telah menganggu.
Bapak terharu dan terhibur oleh polosnya pemikiran kamu. Tapi nak, apa yang
akan kamu lakukan jika tahu penyihir itu adalah bapak sendiri?
Aku
sadar bapak lebih sering muncul di televisi. Ibu melarangku menontonnya.
Terakhir kali yang kutahu, bapak dikelilingi orang-orang yang terus melontarkan
pertanyaan. Seruan mereka hanya dijawab dengan senyuman. Kilatan kamera mereka
saling menyikut untuk mendapat momen itu. Wajah bapak tampak seletih ibu yang
belakangan ini jarang tidur.
Suatu
kali salah satu dari mereka bertamu. Ibu lantas mengenalkannya padaku. Kata
ibu, mereka adalah jurnalis yang bertugas menyampaikan kebenaran informasi. Bagiku,
mereka justru penyihir jahat yang kucari-cari.
Bapak terpaksa membungkam
mulut jurnalis itu hingga sekarang. Tulisan-tulisan kritis mereka mengalahkan
kelihaian bapak berkilah. Seperti alasan tidak ingat, trik pura-pura lupa,
penyangkalan satu per satu bukti dan menolak kenal saksi-saksi yang dihadirkan
dalam sidang.
Ibumu yang kalut
menyuruh bapak merelakan kehidupan mewah ini. Tapi bapak tidak mau menyerah.
Mengaku sebagai mafia pajak berarti menghapus waktu kebersamaan bapak denganmu
selamanya, nak. Walaupun kenyataan pahit itu... benar.
Bom
di kepalaku meledak. Ketiga lembar surat yang belum habis terbaca kuinjak-injak
sebagai pelampiasan. Kebenaran apa ini! Apa
bapak sengaja merekayasa? Tapi, tapi, bapak telah dinyatakan bebas dari
segala tuntutan.. Bagaimana bisa?
“Mas,
ada teman-teman wartawanmu datang ingin belasungkawa. Temuilah dulu sebentar,”
ujar Suma, istriku, membuyarkan lamunan. Ia berdiri menunggu di depan pintu
kamar yang sebenarnya tidak terkunci.
Rasanya
kali ini akan salah jika berada dekat mereka, “Ak-ak-aku mau sse-sen-diri dulu.
Maaf.”
Tak
lama beberapa kali ketukan pintu muncul, disusul suara putraku Gio. “Ayah..
Ayah tidak apa-apa kan?”
Ketika
hendak memutar kenop pintu, suasana kembali sunyi. Suma mungkin sudah mengajak
Gio pergi untuk memberiku waktu sendiri.
Kakiku
berjalan setengah menyeret. Badanku membungkuk, lalu memungut lembaran
surat-surat itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Ingin kupastikan apakah ini
tulisan bapak atau bukan.
*bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar