Kamis, 06 September 2018

MY L.O.V.E (PART 18) #Untold Story




Sebuah Pengakuan (II)



Setelah pamit, tanpa berlama-lama lagi, Micky dan Diana pun pergi ke suatu tempat dimana cowok itu rindukan. Ia merasa sudah siap mental untuk mengungkapkan sesuatu ‘rahasia’ kepada gadis –tetangga depan, yaa... sahabat terdekatnya saat ini. Micky bertekad bulat untuk membuka lembaran baru dalam kehidupannya dan meninggalkan masa lalunya dibelakang...

***

“Mike ini kan...”

Mata Diana terbelalak saat sampai di tempat tujuan. Ia bingung. Tiba-tiba muncul sedikit rasa duka, apa maksudnya Mike mengajaknya ke tempat ini? Apa Diana ketinggalan sesuatu tentang Mike???

“Iya Di... ayo kita masuk.” Ajak Micky. 

Tak begitu terlihat perasaan sedih di wajahnya. Ia tetap tersenyum –meskipun... itu hanya sebuah senyuman kecil.

Micky menarik nafas panjang, mencoba mengatur perasaannya. Cowok itu berusaha menahan diri dari segala rasa duka ketika ia melihat tempat ayahnya tinggal kini.

“Diana... kenalin ini ayahku... Dia sekarang udah tenang, ayah tinggal bersama Tuhan...” ucapnya pelan.

Gadis itu melihat sebuah batu nisan. Di sana terukir sebuah nama,

Leonardo Bastian Andreas Lahir 13 Juli 1959
Wafat 12 Desember 2010


“Mike aku... Aku turut berduka cita Mike...” Hanya sebaris kalimat itu yang bisa dilontarkan Diana. Air matanya tak terasa sudah menggenang dan jatuh ke pelupuk mata. Apa sekarang aku harus bersedih lagi... Aku benar-benar merasa bukan sahabat baik Micky... Om... Semoga om sekarang bahagia di sana... Diana hanya bisa berdoa dari sini...

Kemudian, Micky mengelus nisan ayahnya, perasaannya mulai berkabut. Rasa berkabung itu masih belum pupus karena ia sekarang harus membuka lembaran hitam yang telah mewarnai kehidupannya. Hari ini seperti hari kemarin –hari terakhir ayahnya meninggalkan semua kenangan itu... meninggalkan Bella dan cowok itu...

“Ayahku adalah seorang yang terhebat dimataku...”ujarnya membuka cerita dan Diana pun mulai mendengarkan kisah ‘itu’.

“... dulu kami bertiga selalu menghabiskan hari minggu seperti ini dengan jalan-jalan ke alam terbuka, yah entah danau... pantai, di gunung, atau pinggiran sungai yang jernih. Ayah selalu menyukai itu... Kami piknik, bercanda, mengobrol, bermain. Aku dan ayah sangat senang main tangkap bola –itu lah favorit kami. Hehe... kedengarannya terlalu kanak-kanak, tapi... hanya itu yang paling membekas dalam ingatanku. Ayah memang orang yang sibuk, bahkan hanya hari ‘minggu’ mungkin aku bisa bertemu dengannya. Kalau ayah ada tugas di luar negeri, aku dan bunda hanya bisa menunggunya datang di akhir bulan. Karena ayah pasti selalu akan datang... Ayah selalu memberi kejutan padaku dan bunda... entah dengan hadiah ataupun waktu kedatangannya yang tidak terduga...”

Nafas Micky agak mulai memberat...

“...Ya tapi tidak seperti hari itu, hari yang tidak akan aku pernah lupa seumur hidup. Hari yang aku tunggu bersama bunda –Hari minggu, 12 Desember tahun lalu. Tepat di hari ulang tahunku ke-17...

Micky berhenti sejenak... Terasa sekali getaran kesedihan mengelilingi mereka berdua... Diana membisu, sementara Micky lalu melanjutkannya...

... Ayah seharusnya sudah datang seperti yang dijanjikannya, pukul Sembilan malam. Aku menunggunya bersama bunda... Tapi sampai hampir jam dua belas malam ia juga tak kunjung datang. Aku sudah terlalu lelah hingga aku tertidur. Aku tetap menunggunnya. Sedangkan Bunda masih tetap terjaga sampai jam dua belas itu terlewati, tetapi tidak ada tanda- tanda ia mau datang. Kami masih berpikir mungkin ini sebuah kejutan seperti biasanya, tapi ternyata aku salah....”

“Mike...” Diana menggenggam tangan cowok itu, lembut.

“...Jalan Tuhan memang nggak bakal bisa ditebak dan aku telah membuktikannya. Saat pukul satu aku terbangun dan melihat bunda masih terduduk melihat televisi, ayah masih belum datang. Bunda berkata berulang kali kalau ayah akan baik-baik saja. Namun, tak lama kemudian, telpon rumah berdering. Bunda langsung mengangkatnya. Percakapan itu tak membutuhkan waktu lama. Aku melihat Bunda yang terduduk lemas, bahkan aku sempat heran karena genggaman telponnya tergantung begitu saja. Hubungan telpon sudah terputus. Lalu, aku membantu bunda berdiri, bertanya apa yang sedang terjadi dan...

“Dari siapa bun? Apa itu ayah?”
“....”
“Bunda?”


Bella langsung memeluk anak semata wayangnya itu, ia mengusap kepala Micky dengan

rasa penuh kasih, tak lama kemudian ia hanya dapat berkata...

“Ayah tidak akan pernah datang lagi, nak... Maafkan Bunda...Tuhan tahu tempat yang terbaik untuk diberikan kepada ayahmu sekarang... Aku dan ayahmu tidak bisa memberimu kado bahagia kami untukmu, Mick... Maafkan Bunda...”

...Bunda sangat tegar dan entah kenapa aku jadi malu bila aku menangis. Pagi itu –di hari minggu, aku tetap merayakan ulang tahunku di sini. Sebelum di makamkan, aku melihat jasad ayahku terbujur kaku di ruang mayat rumah sakit itu, tampak ada ‘bekas’ yang membuatnya seperti ini. Aku menyentuhnya dan menangis, tapi hanya sekedar isakan bukan tangisan besar. Aku membisikkan sesuatu padanya, hanya sebuah kalimat pendek karna aku tak tahu harus berkata apa kala itu, aku bilang... 

“Aku sayang ayah dan aku ikhlaskan ayah pada Tuhan...” Setelah itu, aku merasa ayah sedang tersenyum damai, senyuman yang paling tenang yang pernah aku lihat...”


Diana menatap Micky, tatapan cowok itu begitu kelabu. Tidak ada sinar yang terpancar di sana. Gadis itu menggenggam tangan Micky lebih erat dari sebelumnya meski dalam keadaan membisu. 



***


bersambung...




*pict. source: https://imgur.com/gallery/E5UUH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MY L.O.V.E (PART 19) #Untold Story

SEBUAH PENGAKUAN (III) Diana menatap Micky, tatapan cowok itu begitu kelabu. Tidak ada sinar yang terpancar di sana. ...