Jumat, 12 Juni 2015

Cerpen KORUPSI




UTANG NYAWA (bagian II-akhir) 




Kakiku berjalan setengah menyeret. Badanku membungkuk, lalu memungut lembaran surat-surat itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Ingin kupastikan apakah ini tulisan bapak atau bukan.
Sebelum koma, bapak seringkali tertangkap basah sedang serius menulis. Selagi menulis, siapapun dilarang masuk kamarnya. Bapak bahkan pernah mengusir penjenguknya. Suster Tere yang biasa mengantar sarapan bapak mengadu padaku. Katanya, ia melihat bapak duduk tegak di kasur. Tatapan kosongnya memandang ke luar jendela. Ekspresinya sulit ditebak. Lalu pena di jarinya kembali sibuk bergerak.
Suma juga menemukan kertas-kertas ini di laci kamar rawat bapak. Kertas yang terlipat-lipat hingga kecil. Kertas yang tersimpan di tumpukan paling bawah buku-buku bacaannya. Jadi keraguan apa lagi yang bisa kubantah?
Awalnya bapak hanya berniat memperluas koneksi dengan orang-orang penting negeri ini. Tapi bapak berada di posisi sulit. Rantai pencucian uang terlanjur membentang. Antara sadar dan tidak, bapak telah diikat nafsu. Namun akal sehat yang masih menyala memperingatkan bapak. Suat saat sandiwara terbongkar, maka bapak perlu berjaga-jaga. Mereka -para politisi, petinggi pemerintah dan militer-menjadi koleksi boneka bapak.
Satu per satu boneka bapak berkhianat. Mereka mulai menyebut nama bapak di persidangan. Pers turut memperbesar badai perkara. Di kursi pesakitan, bapak menyaksikan kamu dan ibumu terombang-ambing dalam ketidakpastian permainan yang bapak buat. Pengacara kondang itu hampir lepas tangan.
Di titik kritis, bapak ingat masih punya senjata.
            Malam sebelum sidang putusan akhir. Keadilan negeri ini bapak beli  dengan harga pantas. Sekarang tinggal menunggu bunyi terakhir ketukan palu.
Aku selalu ingat hari dimana penyihir jahat lenyap dari muka bumi. Tepat saat lonceng sekolah berbunyi, buru-buru kakiku mengayuh sepeda ke rumah. Kulihat ibu berdiri menunggu di teras depan. Lalu berlari kecil menghampiriku. Ia mengacak-acak rambutku dan menciuminya berkali-kali.
“Bapak akan pulang, nak... Kita bisa berkumpul lagi. Yuk kita masak makanan kesukaan bapak, nak..” ucap ibu, bibirnya bergetar.
Apakah semua kembali normal? Salah, nak. Kasus mafia pajak memang ditutup. Bapak merasa di atas angin. Namun, skenario Tuhan berkehendak lain. Beberapa hari menghirup udara bebas, bawahan bapak membawa kabar buruk. Sebuah media lokal memuat artikel utama tentang kejanggalan atas keputusan hakim agung yang membebaskan bapak. Artikel yang ditulis jurnalis laki-laki berkacamata bulat.
            Bagi bapak, asal ada uang semuanya beres. Jadi bapak meminta bantuan kawan di militer. Bapak bayar oknum itu. Lalu perintahkan supaya jejak jurnalis muda itu hilang tak berbekas. Menghalalkan segala cara. Kemudian media lokal itu dibredel paksa. Hingga tiada kabar duka apa-apa. Semua berjalan lancar...
 Sayang, tanpa sepengetahuan bapak, istri si jurnalis muda itu nekat menemui ibumu. Menceritakan suaminya yang hilang setelah tulisan tentang bapak dimuat. Di rumah, ibumu terus mendesak bapak. Ibumu berteriak hingga kami bertengkar hebat. Bapak langsung balik membentak. Tanpa sadar membocorkan hal yang selama ini tertutup rapat. Mendengarnya, ibumu langsung tak sadarkan diri.
Ibumu meninggal bukan serangan jantung melainkan karena bapak...
Maafkan,nak... Maafkan.
             Aku termenung melihat foto yang terpajang di atas meja sebelah kiri tempat tidur bapak. Potret diriku bertoga sarjana tingkat satu, lulusan jurnalisme. Bapak yang merangkul erat bahuku dari samping.
Karena itu, bapak terobsesi agar kamu menjadi jurnalis. Meski kamu menolak mentah-mentah, bapak berusaha membujuk. Kamu yang pandai menulis seperti bapak. Kamu yang mahir menganalisis sesuatu persis ibumu. Bapak memaksamu bukan untuk menebus kesalahan. Bapak hanya tidak mau kamu seperti bapak, sebab..
Foto itu pecah. Suma yang mendengar langsung menerobos masuk kamar. Ia melihatku lebih kacau, berantakan dari sebelumnya. Kertas-kertas itu kuremas dalam satu genggaman. Suma memelukku sambil mencoba menguatkan. Tapi hanya kalimat terakhir bapak yang terus berdengung di kepalaku.
Kejujuran itu adalah harga mati. Ingatlah, nak. Berjanjilah.
***
            Terdengar jeruji besi berdecit nyaring. Dua sipir galak membangukan. Mata tak lagi pejam. Tiba waktunya menebus kejujuran bapak yang tertunda. Membayar utang dengan nyawa. Suma, istriku yang setia. Kusimpan selalu kepercayaanmu atas pilihanku memikul tanggungjawab ini sendiri. Gio, ksatria kecilku, kutinggalkan kisah kakek dan ayahmu dalam koran pagi nanti. Ibu akan membantumu agar kau paham, nak.
            Bersama deru peluru bergema tiga kali. Utang itu, lunas.

Bekasi, 31 Desember 2014.

MY L.O.V.E (PART 19) #Untold Story

SEBUAH PENGAKUAN (III) Diana menatap Micky, tatapan cowok itu begitu kelabu. Tidak ada sinar yang terpancar di sana. ...