Pengakuan (bagian II)
Apa mungkin ini
kembali terjadi?
Perlahan Rena membuka pintu kamar Joy. Tatapannya
kosong. Kakinya hanya berpijak sampai di ambang pintu.
Berdiri kaku seperti patung. Sementara
itu, Joy membenamkan wajah serta tangisannya pada bantal-guling yang ia dekap
erat-erat.
Mereka berdua pun diselimuti malam kian membisu. Saat tanpa sadar, bibir Rena bergetar. Luka itu kembali ia gali. Dan setelah ini, tidak akan
pernah ada lagi yang tersembunyi.
***
Akhirnya datang juga! Hari istimewa yang hanya muncul sekali dalam setahun.
Hari yang menandakan bahwa lembaran kisah
kembali dimulai dengan langkah, semangat, serta misi baru. Tahap kehidupanku bukan lagi remaja labil dengan pemikiran yang
terhalang beragam rupa aturan. Mulai sekarang, aku adalah aku yang bebas menentukan
dan membentuk takdirku sendiri.
Sayangnya, ibu
bersikeras menolak.
“Tapi bu? Aku sudah janji dengan teman-teman buat
ngerayainnya sama mereka,” ujarku memohon.
“Ini sudah jam 8 malam, nak. Lagipula, ibu sudah
masak nasi goreng kesukaan kamu. Oh,
ya ibu juga ibu belikan kue tart coklat. Pasti
kamu suka! Jadi, lebih baik kita syukuri bersama di rumah saja ya, nak.”
“Tidak mau. Usiaku
sudah menginjak kepala
dua dan aku bukan anak kecil lagi. Cukup! Jangan terlalu
banyak ngatur!”
“Siapa yang mengajari cara bicara dan bersikap
seperti itu? Dengar..”
“Aku tidak mau dengar apa-apa lagi, bu. Aku mau
pergi dari sini!” sergahku tajam.
“RENA!” Sebuah tamparan keras mendarat di pipi
kiriku. Sebuah hadiah yang kutahu, itu, dari ibuku sendiri. Wajah ibu langsung
tampak menyesal. Ia
mencoba meraih tanganku hendak meminta maaf,
“Nak.. ibu tidak bermaksud untuk...”
Aku segera menyela. Luncuran kalimat-kalimat
pembelaan diri yang mungkin dapat membuatnya lumpuh seketika. Saat itu, kuyakini
dalam hati, aku takkan lagi pernah dianggapnya sebagai seorang anak.
“DIAM RENA!”
Antara teriakan dan tangisan histeris ibu saling
berbaur. Anehnya, aku tidak menyaksikan atau mendengar ia mengucapkan sumpah
serapah seperti apa yang kuprediksi. Kemudian, tak ingin membuang waktu, aku melewatinya begitu saja. Tanpa
memandang raut wajahnya yang tua dan lelah. Setelah berhasil keluar rumah, aku
larut dalam kesenangan duniawi hingga mentari berikutnya kembali menampakkan
diri.
Yang kutahu, mataku
terbuka menatap langit-langit di ruangan asing. Bukan
langit bercat kebiruan seperti biasa. Terlentang di kasur
cukup besar dalam balutan selimut putih tebal. Samar-samar tampak wajah pria tak kukenal menyeringai sedari menaikkan ritsleting celananya. Pria itu mengedipkan
sebelah matanya ke arahku, lalu
pergi. Aku memang masih setengah sadar, namun cukup sadar jika tubuhku… tak tertutup
dengan sehelai benang pun.
Tiga hari absen
dari kegiatan perkuliahan. Kerjaanku
hanya bolak-balik kamar mandi karena mual. Isi perutku keluar secara paksa.
Pening di kepalaku tak mau hilang meski berkali-kali minum obat pereda. Ibu
yang khawatir memaksaku untuk memeriksakan diri ke dokter. Ia membawaku ke sana
sambil terus memeluk dan membelai rambut pendekku. Rasanya aku ingin menepis tangannya keras, tetapi tenagaku terkuras habis, tak berdaya
lagi.
Tuhan benar-benar memberikan babak baru. Kiamat
telah datang menghancur-leburkan semuanya sesaat setelah telingaku menangkap
seuntai kalimat pendek, “Selamat anda akan menjadi seorang ibu.”
“Tidak mungkin,
dokter. Tidak, dokter. Tidak.” Tak ada gunanya, aku berdebat dengan
dokter maupun Tuhan. Aku gagal sekaligus terlambat
untuk menyangkalnya.
Dalam keadaan batin terguncang kala
itu, hanya ibu setia di sampingku. Ia berusaha
menguatkan dengan senyum yang menyiratkan bahwa ia siap dan ikhlas menerima
kehadiran calon bayi ini. Ibu bahkan membebaskanku menentukan langkah apa
saja, kecuali tindakan aborsi. Aku
semakin tidak mengerti jalan pikirannya.
Tidak ada keberanian
bertanya apalagi menentang. Maka dari itu, pertanyaanku selalu sama setiap hari.
Untuk apa aku menyimpan
aib keluarga?
*bersambung..