Kamis, 10 September 2015

Cerpen Kasih Sayang IBU





 Pengakuan (bagian II)

Apa mungkin ini kembali terjadi?
Perlahan Rena membuka pintu kamar Joy. Tatapannya kosong. Kakinya hanya berpijak sampai di ambang pintu. Berdiri kaku seperti patung. Sementara itu, Joy membenamkan wajah serta tangisannya pada bantal-guling yang ia dekap erat-erat.
Mereka berdua pun diselimuti malam kian membisu. Saat tanpa sadar, bibir Rena bergetar. Luka itu kembali ia gali. Dan setelah ini, tidak akan pernah ada lagi yang tersembunyi.
***
Akhirnya datang juga! Hari istimewa yang hanya muncul sekali dalam setahun. Hari yang menandakan bahwa lembaran kisah kembali dimulai dengan langkah, semangat, serta misi baru. Tahap kehidupanku bukan lagi remaja labil dengan pemikiran yang terhalang beragam rupa aturan. Mulai sekarang, aku adalah aku yang bebas menentukan dan membentuk takdirku sendiri.
Sayangnya, ibu bersikeras menolak.  
“Tapi bu? Aku sudah janji dengan teman-teman buat ngerayainnya sama mereka,” ujarku memohon.
“Ini sudah jam 8 malam, nak. Lagipula, ibu sudah masak nasi goreng kesukaan kamu. Oh, ya ibu juga ibu belikan kue tart coklat. Pasti kamu suka! Jadi, lebih baik kita syukuri bersama di rumah saja ya, nak.”
“Tidak mau. Usiaku sudah menginjak kepala dua dan aku bukan anak kecil lagi. Cukup! Jangan terlalu banyak ngatur!”
“Siapa yang mengajari cara bicara dan bersikap seperti itu? Dengar..”
“Aku tidak mau dengar apa-apa lagi, bu. Aku mau pergi dari sini!” sergahku tajam.
“RENA!” Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiriku. Sebuah hadiah yang kutahu, itu, dari ibuku sendiri. Wajah ibu langsung tampak menyesal. Ia mencoba meraih tanganku hendak meminta maaf, “Nak.. ibu tidak bermaksud untuk...”
Aku segera menyela. Luncuran kalimat-kalimat pembelaan diri yang mungkin dapat membuatnya lumpuh seketika. Saat itu, kuyakini dalam hati, aku takkan lagi pernah dianggapnya sebagai seorang anak.
“DIAM RENA!”
Antara teriakan dan tangisan histeris ibu saling berbaur. Anehnya, aku tidak menyaksikan atau mendengar ia mengucapkan sumpah serapah seperti apa yang kuprediksi. Kemudian, tak ingin membuang waktu, aku melewatinya begitu saja. Tanpa memandang raut wajahnya yang tua dan lelah. Setelah berhasil keluar rumah, aku larut dalam kesenangan duniawi hingga mentari berikutnya kembali menampakkan diri.
Yang kutahu, mataku terbuka menatap langit-langit di ruangan asing. Bukan langit bercat kebiruan seperti biasa. Terlentang di kasur cukup besar dalam balutan selimut putih tebal. Samar-samar tampak wajah pria tak kukenal menyeringai sedari menaikkan ritsleting celananya. Pria itu mengedipkan sebelah matanya ke arahku, lalu pergi. Aku memang masih setengah sadar, namun cukup sadar jika tubuhku… tak tertutup dengan sehelai benang pun.
Tiga hari absen dari kegiatan perkuliahan. Kerjaanku hanya bolak-balik kamar mandi karena mual. Isi perutku keluar secara paksa. Pening di kepalaku tak mau hilang meski berkali-kali minum obat pereda. Ibu yang khawatir memaksaku untuk memeriksakan diri ke dokter. Ia membawaku ke sana sambil terus memeluk dan membelai rambut pendekku. Rasanya aku ingin menepis tangannya keras, tetapi tenagaku terkuras habis, tak berdaya lagi.
Tuhan benar-benar memberikan babak baru. Kiamat telah datang menghancur-leburkan semuanya sesaat setelah telingaku menangkap seuntai kalimat pendek, “Selamat anda akan menjadi seorang ibu.”
“Tidak mungkin, dokter. Tidak, dokter. Tidak.” Tak ada gunanya, aku berdebat dengan dokter maupun Tuhan. Aku gagal sekaligus terlambat untuk menyangkalnya.
Dalam keadaan batin terguncang kala itu, hanya ibu setia di sampingku. Ia berusaha menguatkan dengan senyum yang menyiratkan bahwa ia siap dan ikhlas menerima kehadiran calon bayi ini. Ibu bahkan membebaskanku menentukan langkah apa saja, kecuali tindakan aborsi. Aku semakin tidak mengerti jalan pikirannya. Tidak ada keberanian bertanya apalagi menentang. Maka dari itu, pertanyaanku selalu sama setiap hari.
Untuk apa aku menyimpan aib keluarga?


*bersambung..

Minggu, 02 Agustus 2015

Cerpen Kasih Sayang IBU





 PENGAKUAN (bagian I)

Joy berteriak. Matanya memanas. Dalam hati, terus memaki lawan bicaranya. Kata-kata yang keluar sengaja ia sentak. “Kenapa terus melarangku?! Selama ini aku mematuhimu dan apa salah jika aku ingin sekali saja bersenang-senang?”
“Kamu itu perempuan. Tidak baik keluar malam-malam begini, apalagi tidak jelas tujuanmu kemana dan pulang jam berapa.”
“Klise,” balas Joy tak acuh.
“Mau kemana?”
“Bukan urusanmu!”
“Tidak ibu izinkan.”
Amarah Joy memuncak. Titik kesabarannya pun telah melewati garis batas, “Umurku 17 tahun!! Aku bukan anak kecil lagi yang harus selalu ibu atur!! Aku tidak pernah mempermasalahkan kalau ibu setiap hari pulang kerja lewat dari tengah malam! Apapun yang ibu katakan, aku tidak melanggar! Sekarang aku butuh kebebasan! Aku tidak ingin sisa hidupku terpenjara seperti ini! Aku ingin seperti teman-teman lainnya! Apakah sebagai ibu, kau tidak mengerti?!”
“Tentu, aku mengerti.”
“Lalu? Izinkan aku, bu!”
“Tidak.”
Suara joy berubah parau. Air mata turun membasahi pipi tanpa isakan, “Aku harus bilang apa lagi? Ibu tahu kan, aku pergi juga tidak sendiri. Ada teman-teman lain dan.. dan.. aku hanya ingin menikmati masa muda.. masa remajaku.
Dengar, nak...
Sudahlah. Ibu memang tidak akan pernah mengerti.
Satu baris kalimat sarat emosi Joy tumpahkan dengan lugas tepat di hadapan wajah Rena–ibunya-sehingga semua bebannya terlepas, “Aku berharap tidak pernah dilahirkan dari ibu macam kau.”
Joy berlari ke kamarnya seraya membanting pintu. Tidak peduli atas perkataannya di ujung kalimat. Ia merasa benar. Toh, banyak orang lain di luar sana yang mengolok-olok dirinya akibat tidak tahu asal-usul ayahnya. Batin Joy sudah lelah. Tak ada dorongan untuk memohon pengampunan atau menarik kembali perkataannya. Biarlah, malam ini, detik ini, ia menjelma jadi sosok Malin Kundang.
Hati Rena tersayat. Tamparan keras di pipinya semakin nyata. Namun, tidak ada sama sekali terbesit di pikiran Rena memanggil anak gadis semata wayangnya dengan sebutan ‘anak durhaka’. Dalam gamang, suara-suara jiwanya saling menjerit.
Apa mungkin ini kembali terjadi? 


* bersambung..



 

MY L.O.V.E (PART 19) #Untold Story

SEBUAH PENGAKUAN (III) Diana menatap Micky, tatapan cowok itu begitu kelabu. Tidak ada sinar yang terpancar di sana. ...